Mengungkap Citra Positif Potret Budaya Betawi

Oleh : Wiyanto | Minggu, 23 Februari 2020 - 16:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Betawi telah lama menjadi inspirasi bagi para penulis. Pada masa dasawarsa 1950-an, sketsa tentang orang Betawi atau warga Jakarta dikerjakan oleh Firman Muntaco dan terhimpun dalam Gambang Jakarte. Sementara tak terlalu lama setelahnya, muncul pula esais cemerlang, Mahbub Djunaidi.

Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita, mengatakan, “Orang Betawi seringkali dipersepsikan secara salah. Karena itu, upaya melihat kembali potret orang Betawi dalam tulisan menjadi penting untuk memahami dan memaknai suara jernih dari "sisi orang dalam Betawi" ini untuk memperkuat karakter kita, baik sebagai orang Betawi maupun sebagai bagian dari bangsa besar Indonesia yang kian hari terasa mengalami krisis nilai-nilai.”

"Untuk itulah, perlu upaya untuk merumuskan kembali citra positif orang Betawi. Mencari kembali potret Betawi dalam tulisan, lantas memaknainya untuk memperkuat karakter sebagai orang Betawi sebagai bagian dari orang Indonesia. Yang teristimewa, sebab di Jakarta-lah, Indonesia lahir—demikian menurut Sukarno," katanya di Jakarta, Minggu (23/2/2020).

Baik Mahbub maupun Muntaco sama-sama menulis dari sudut pandang yang sama, yakni orang Betawi menceritakan orang Betawi, atau, dari sudut pandang “orang dalam”. Bedanya adalah jika Muntaco mengutamakan cerita, Mahbub mendedahkan pemikirannya dalam esai yang sesekali diberi ilustrasi tentang kehidupan orang Betawi.

Namun selain itu, ada juga sketsa tentang kehidupan orang Betawi dan warga urban Jakarta hari ini yang ditulis dari pandangan orang luar Betawi. Itu adalah esai-esai Seno Gumira Ajidarma yang dikumpulkan dalam buku berjudul Obrolan Sukab (2019).

Zen Hae, menyebut pada Muntaco bahasa Betawi menjadi sangat hidup dalam melukiskan romantika kehidupan masyarakat Jakarta setelah kemerdekaan; pada Mahbub Djunaidi daya humor terasa sangat subversif, baik yang menyangkut orang Betawi maupun kondisi sosial politik Indonesia pada masa Orde Baru; sementara Seno menetapkan pilihannya pada Sukab dan kawan-kawannya yang segera bisa ditunjuk sebagai “masyarakat pinggiran” atau “wong cilik” setelah Reformasi.

Upaya untuk terus melukiskan kaum Betawi ini juga kembali digiatkan melalui lomba penulisan cerpen Betawi yang digelar dalam rangka Pekan Sastra Betawi 2019 di TIM pada pertengahan Agustus 2019 yang lalu. Bercerita tentang pergulatan orang Betawi mempertahankan diri dan identitasnya, karya-karya itu disumbang tidak hanya oleh para penulis asal Betawi, tetapi juga yang berasal dari suku lain. Artinya, Betawi telah menjadi daya magnet yang luar biasa.

Dalam sebuah diskusi soal media yang dihelat oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta pada 29 Juli 2018 di Pasar Seni Ancol, ternyata citra orang Betawi masih sangat negatif. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Salah satunya, seperti dikatakan Mahbub Djunaidi, orang Betawi sudah tersingkir akibat pembangunan.