Intervensi Penyidikan-Pengendalian Independensi &Tindakan; Obstruction on Justice

Oleh : Bambang Widjojanto | Kamis, 30 Januari 2020 - 18:34 WIB

INDUSTRY.co.id - 1.         Labirin penegakan hukum menjadi “cupet”, “kerontang” dan tak bermutu ketika ada pernyataan pimpinan salah satu Lembaga penegakan hukum yang justru disinyalir malah kian menghancurkan optimisme upaya pemberantasan korupsi.  

2.         Secara perlahan tapi pasti INDEPENDENSI KPK tengah diporak-porandakan & diruntuhkan sendiri oleh Komisioner KPK. Pimpinan KPK punya potensi akan “merecoki” proses penyidikan karena “mengontrol” dengan melibatkan diri pada hal yang sangat teknis di tahapan proses penyidikan.

3.         Mahkota penyidik atas otoritasnya untuk mencari alat bukti guna membuktikan kesalahan tersangka punya potensi “dirampok” oleh Pimpinan KPK. Tindakan itu sekaligus mempertontonkan upaya perusakan sistem kontrol internal yang berada Ketua Satgas, Direktur Penyidikan dan Deputi Penindakan yang salah satu fungsinya mengelola proses penyidikan.

4.         Presumsi di atas didasarkan atas pernyataan Pimpinan KPK dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR yang menyatakan “saksi yang dipanggil tidak hanya didasarkan atas pertimbangan penyidik tapi juga harus diketahui, apa dasar kapasitas panggilan seorang saksi.”

5.         Tindakan itu, vis a vis dapat “menyerang dan menerjang” ketentuan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2019 (UU KPK) yang secara tegas menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Independensi Penyidik KPK tengah “diserang” oleh Pimpinan KPK sendiri.

6.         Ceto welo-welo, sangat jelas sekali, tidak ada satupun pasal di dalam UU KPK yang secara eksplisit menegaskan adanya pemberian kewenangan pada komisioner KPK untuk terlibat secara teknis dalam menentukan saksi yang diperlukan guna membuktikan kejahatan korupsi. 

7.         Apalagi, pasal yang menyatakan bahwa Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum sudah dihapus di UU No. 19 Tahun 2019. Jadi agak absurd, naif dan konyol jika Pimpinan yang bukan penyidik tapi mengatur-ngatur kewenangan penyidik dalam proses penyidikan. 

8.         Komisioner KPK seharusnya faham, mahfum dan tahu legal standing posisinya bahwa statusnya mereka bukan lagi penyidik karena hanya sekedar pejabat negara saja (Pasal 21 ayat (3) UU KPK); 

9.         Lebih dari itu, Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan, penyidiklah yang punya kewenangan untuk memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka. 

10.       Apalagi di dalam UU KPK yang baru Pasal 12c disebut penyidik hanya wajib melapor secara berkala kepada pimpinan KPK terkait penyadapan, bukan dalam hal pemanggilan saksi.

11.       Aturan di atas ditopang Pasal 45 ayat (3) UU KPK Baru yang menegaskan bahwa penyidik wajib tunduk hanya pada mekanisme penyidikan yang diatur berdasarkan ketentuan hukum acara pidana; serta tidak ada satupun ketentuan hukum acara yang memberikan legalitas pada komisioner KPK dalam menentukan kriteria, panggilan dan jumlah saksi yang diperlukan penyidik. 

12.       Tindakan Komisioner KPK mengintervensi otoritas penyidik KPK dapat dituduh sebagai kejahatan karena punya potensi untuk dikonstruksi sebagai tindakan obstruction of justice karena dapat mengganggu independensi & akuntabilitas proses penyidikan tipikor.

13.       Pertanyaan reflektifnya, KPK mau memberantas korupsi atau melindungi para koruptor?.

Bambang Widjojanto: Aktivis Hak Azasi