Sadis, Impor Garam "Ugal-ugalan", Petani Garam Makin Menangis

Oleh : Ridwan | Rabu, 15 Januari 2020 - 08:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Alokasi impor garam pada 2020 dipastikan makin membengkak. Alokasinya bertambah dari 2,75 juta ton jadi 2,92 juta ton.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Perindustrian (Kemenperin) Muhammad Khayam mengakui alokasi impor garam 2020 untuk industri memang ada peningkatan. Pada 2019, alokasi impor garam mencapai 2,75 juta ton, dan tahun ini naik 6% jadi 2,92 juta ton.

"Jadi kalau persetujuan saja dialokasikan 2,92 juta ton. Jadi lebih besar sedikit dari tahun lalu," kata Khayam di Jakarta (14/1/2020).

Ia mengatakan, kenaikan volume impor garam industri karena mengikuti pertumbuhan berbagai industri pengguna garam, antara lain industri makanan dan minuman (mamin). "Kebutuhan naik karena industrinya tumbuh. Pertumbuhan juga dijaga khususnya mamin," kata Khayam. 

Ia juga menegaskan, kalau kuota impor 2,92 juta ton adalah persetujuan dari hasil rapat koordinasi terbatas (rakortas) di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian beberapa waktu lalu. 

Menurutnya, industri chlor alkali plant (CAP) masih menjadi pengguna garam impor terbesar, yang mencapai 2,6 juta ton atau 89 persen dari alokasi impor. 

"Industri CAP mengolah garam untuk kebutuhan industri kertas hingga petrokimia," kata dia. 

Sampai awal tahun ini, terang Khayam Kemenperin belum mengeluarkan rekomendasi impor garam. Pihaknya, masih melakukan proses verifikasi yang dibantu pihak ketiga, yaitu PT Sucofindo. "Ini untuk memastikan impor yang dilakukan nantinya sesuai kebutuhan," tegasnya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui bahwa Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungan garam impor untuk industri. Bahkan, kalau impor garam dihentikan, sementara kebutuhan bahan baku industri bergantung dari situ, maka keberlangsungan industri bakal terancam. 

Hal yang sama menurutnya berlaku untuk gula industri. "Selama ini kita terpaksa harus impor, karena kita tidak boleh mematikan industri itu sendiri hanya karena tidak mempunyai bahan baku," tegas Agus. 

Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi mengatakan, bertambahnya alokasi garam impor pada tahun ini akan semakin memukul harga garam, karena stok berlimpah.

Tahun lalu, dengan jumlah impor yang mencapai 2,75 juta ton dan produksi dalam negeri sebanyak 2,9 juta ton maka menghasilkan tol stok sebanyak 5,6 juta ton garam. Padahal, kebutuhan dalam negeri paling banyak diprediksi 4,5 juta ton. Sehingga masih ada 1,1 juta ton stok tahun 2019.

Belum lagi bila ditambah dengan stok tahun 2018 yang tidak terserap, yakni 900 ribu ton, maka jumlah stok garam lokal yang tersedia bisa mencapai 2 juta ton.

Alhasil, harga garam menjadi anjlok, bahkan berada di angka Rp 200/kilogram. Sehingga petani garam lojal dipastikan sangat rugi. Harga Pokok Produksi (HPP) mencapai hampir lima kali lipat atau di angka Rp 950/Kg.

"Bisa dibayangkan gimana dampaknya pada perkembangan pergaraman nasional. Pasar 2020 bisa dipastikan, produksi 2020 untuk garam nasional tidak mempunyai ruang gerak di pasarkan, untuk produksi tahun 2020," ungkap Faisal.

Ia meminta kebijakan impor garam disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri, baik dari industri maupun masyarakat. Sehingga impor tidak terkesan 'ugal-ugalan'.

"Jadi perlu kearifan kebijakan dari semua pihak. Oke industri perlu diperhatikan. (Tapi) hulu juga perlu diperhatikan. Buktinya sekarang kalo tidak diperhatikan supply lebih tinggi dari demand," tegas Faisal.

Salah satu industri yang membutuhkan garam impor adalah industri makanan dan minuman (mamin) yang kebutuhannya meningkat. 

Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan pada 2020, alokasi garam impor untuk industri mamin lebih dari setengah juta ton. Jumlahnya meningkat dibandingkan 2019, yang hanya sekitar 400 ribu ton lebih.

"Untuk mamin dialokasikan 543 ribu ton," katanya.