RKUHP: Menguntungkan Pelaku Korporasi Perusak Lingkungan

Oleh : Herry Barus | Minggu, 22 September 2019 - 14:51 WIB

INDUSTRY.co.id - JakartaDPR mengebut pengesahan beberapa rancangan undang-undang, termasuk RKUHP yang digadang-gadang menjadi maha karya anak bangsa. Namun, pembahasan RKHUP dilakukan secara diam-diam pada 14-15 September 2019. Kami menilai rancangan terakhir per 15 September 2019 masih terdapat banyak kecacatan, tidak terkecuali perumusan tindak pidana lingkungan hidup dan pertanggungjawaban korporasi. Lebih lanjut, pemerintah dan DPR tak peduli dengan konsekuensi rancangan yang cacat tersebut dengan menyetujuinya pada rapat tingkat 1 di DPR Rabu, 18 September 2019 siang.

Raynaldo G. Sembiring, Deputi Direktur ICEL dalam siaran pers yang diterima Sabtu (21/9/2019) mencatat bahwa pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi akan sulit menjerat korporasi karena definisi yang sangat luas dan sulit membuktikan bagaimana suatu kebijakan korporasi menjadi budaya perusahaan (vide pasal 47 dan pasal 49 huruf c). Selain itu, ia juga berkata bahwa “pengertian korporasi ini berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat.” Padahal kasus tindak pidana lingkungan hidup kebanyakan dilakukan oleh korporasi.

Dr. Andri G. Wibisana, Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menambahkan bahwa RKUHP memuat pasal yang gagal memisahkan antara pertanggungjawaban korporasi dengan pertanggungjawaban pengurus.  “Tidak ada ketentuan RKUHP yang menjelaskan kapan pengurus bertanggungjawab” jelasnya.  Tanpa adanya ketentuan ini, maka pelaksnaan pertanggungjawaban korporasi dapat mengakibatkan penerapan pertanggungjawaban korporasi berubah menjadi pergeseran tanggungjawab dari korporasi ke subjek hukum orang (pengurus), di mana orang ini bertanggungjawab atas tindak pidana yang tidak dilakukannya.

Lebih lanjut, Marsya M. Handayani, Peneliti ICEL menjelaskan pembuktian tindak pidana lingkungan hidup (pasal 346 dan 347) akan semakin sulit karena adanya unsur melawan hukum dan akibat. “Pelaku akan berdalih kalau punya izin maka tidak akan mungkin ia melawan hukum dan menyebabkan pencemaran atau kerusakan. Seharusnya tidak perlu lagi unsur itu, cukup dibuktikan apakah tindakan pelaku melebihi baku mutu pencemaran atau kriteria baku kerusakan,” ungkapnya. Hal ini juga ditegaskan oleh Andri, “rumusan pada kedua Pasal tersebut mirip dengan rumusan Pasal 41 dan 42 UU 23/1997, yang telah terbukti sangat lemah dalam menjerat para pelaku pencemaran.”  Menyadari kelemahan yang ada dalam Pasal 41 dan 42 UU 23/1997, maka kedua pasal ini diubah rumusannya dengan pasal 98 dan 99 UU 32/2009.  Dengan diadopsinya pasal 346 dan 347 RKUHP, maka kedua pasal yang tidak efektif justru dihidupkan kembali.

Perumusan pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana lingkungan hidup di RKUHP juga mengubah model dan pola yang dimuat dalam UU 32/2009. Rumusan jenis pidana yang diancam kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup dirumuskan dengan model alternatif, sedangkan dalam UU 32/2009 dirumuskan secara kumulatif. Hal ini tentunya mebuat hakim hanya bisa menjatuhkan pidana denda atau penjara, tidak bisa menjatuhkan keduanya. Padahal RKUHP mengatur pedoman pemidanana yang bisa mengenyampingkan model kumulatif dalam hal tertentu. Selanjutnya, dari ancaman pidana, RKUHP juga tidak menggunakan ancaman pidana minimal khusus, sehingga hakim diberi kebebasan menjatuhkan pidana serendah-rendahnya. Untuk ancaman pidana maksimal, UU 32/2009 merumuskanya secara lebih tegas. “Perumusan pidana dan pemidanaan tindak pidana lingkungan hiduo  menjadikan tindak pidana ini seolah tindak pidana biasa, bukan menjadi tindak pidana serius. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Jokowi yang menyebutkan Indonesia berada dalam kondisi kritis kemanusiaan karena kerusakan lingkungan hidup. Sehingga tidak terlihat niat baik Pemerintah dan DPR memuat rumusan tindak pidaha LH dalam RKUHP,” sebut Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan WALHI.

Seharusnya, DPR tidak memanipulasi partisipasi dan memaksakan pembahasan karena masih banyak rumusan yang harus dibenahi. Dengan demikian, ICEL merekomendasikan untuk:

  1. Menunda pengesahan RKUHP untuk dikaji ulang;
  2. Mengeluarkan tindak pidana lingkungan hidup dari RKUHP agar tetap menjadi tindak pidana serius yang diatur dalam undang-undang khusus; dan
  3. Memperbaiki ketentuan tentang korporasi dan pertanggungjawabannya.