Pasar Indonesia Lebih Kuat Ketimbang Asia

Oleh : Herry Barus | Rabu, 11 September 2019 - 08:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta – Pasar saham Indonesia terkoreksi sepanjang bulan Agustus lalu, sementara obligasi Indonesia terapresiasi. Bank Commonwealth masih merekomendasikan reksa dana saham sebagai pilihan investasi utama karena potensi imbal hasilnya yang lebih menarik dibandingkan reksa dana lainnya.

Ekonomi Amerika Serikat tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor, sementara ekonomi Eropa, dan Tiongkok pun tumbuh lebih rendah. Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia disebabkan karena masih belum adanya kejelasan mengenai meredanya ketegangan terkait perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal tersebut menyebabkan investor lebih memilih untuk berinvestasi di kelas aset yang aman.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2019 tercatat 5,05%, turun dibandingkan dengan kuartal I/2019, namun masih tetap terjaga diatas 5% dengan peningkatan di konsumsi rumah tangga, sedangkan investasi tetap stabil. Transaksi berjalan kuartal II/2019 tercatat sebesar -8,4 miliar dolar AS, angka desifit tersebut dipengaruhi oleh perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, serta dampak volume perdagangan dunia dan harga komoditas yang turun.

Meski demikian, saat isu perang dagang kembali memanas pada Agustus lalu, pasar saham Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan dengan dengan pasar saham Amerika Serikat atau pasar saham Asia pasifik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia turun -0,97%, sedangkan pasar saham Amerika Serikat S&P 500 turun -1,81%, dan acuan pasar saham sharia Asia Pasifik, FTSE sharia Asia Pasifik turun -2,11%. Hal ini menunjukkan, bahwa Indonesia relatif kebal terhadap kemelut perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, karena sebagai negara berkembang, porsi terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi dalam negeri. Selain itu, ketahanan ekonomi Indonesia juga tetap kuat, dengan dijaganya rasio utang luar negeri terhadap PDB.

Melihat hal tersebut, Bank Commonwealth merekomendasikan reksa dana untuk menjadi pilihan pertama untuk investasi khususnya reksa dana saham atau reksa dana pendapatan tetap tergantung dari profil risiko dan jangka waktu investasi.

 “Hingga akhir tahun 2019, kami masih lebih positif di kelas aset saham, dengan pertimbangan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan menjadi salah satu alasan dana asing kembali masuk ke Indonesia, sebagai negara berkembang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan negara maju. Selain itu faktor penting lainnya adalah dengan terpilihnya presiden baru, dan juga pemindahan ibukota baru, maka umumnya akan ada misi pembangunan baru yang juga akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sehingga, untuk nasabah dengan profil risiko growth masih dapat mempertahankan alokasi saham sebesar 70% di dalam portofolio,” jelas Head of Wealth Management & Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya.

 

Pilihan investasi yang menarik untuk dilakukan saat ini adalah Sucorinvest Equity Fund yang telah didistribusikan oleh Bank Commonwealth sejak bulan lalu. Ivan menjelaskan, nasabah Bank Commonwealth menyukai produk dengan catatan kinerja yang baik. Reksa dana saham secara historikal masih memberikan imbal hasil yang tertinggi dalam jangka panjang dibandingkan dengan reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap serta reksa dana campuran.

“Oleh karena itu, kami memutuskan memulai kerja sama dalam mendistribusikan reksa dana di bawah kelolaan Sucorinvest Asset Management yaitu Sucorinvest Equity Fund di mana secara kinerja produk ini memberikan imbal hasil sebesar 79,27% dalam 3 tahun terakhir, sementara tolok ukur IHSG memberikan imbal hasil sebesar 26,75% (data per Juni 2019),” jelas Ivan.