Apakah Penurunan Produksi Gas Berrdampak pada Prospek Jangka Panjang Indonesia?

Oleh : Herry Barus | Selasa, 30 Juli 2019 - 08:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta-Indonesia saat ini berupaya untuk meningkatkan produksi gas untuk mempertahankan posisinya sebagai eksportir gas terdepan di dunia dan memenuhi permintaan domestik yang kian meningkat.

 Pada tanggal 27 Mei 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah meneken perjanjian kerja sama dengan perusahaan minyak dan gas asal Jepang bernama Inpex untuk mengembangkan pabrik gas alam cair (LNG) di daratan. Pabrik ini akan memproses gas yang bersumber dari blok Masela yang berlokasi di provinsi Maluka.

 Saat ini, Inpex dan mitra produksinya Royal Dutch Shell memegang hak atas blok Masela yang diperkirakan akan beroperasi selama 24 tahun.

 Blok Masela diproyeksikan akan menghasilkan gas sebesar 1,2 miliar scfd (standard cu feet per day) dan memproduksi 24.000 barel kondensat per hari, di mana kegiatan produksi dalam pabrik tersebut diprediksi akan dimulai pada tahun 2024. Berdasarkan perjanjian dasar yang telah ditandatangani pada pertengahan Juni, Indonesia akan mendapatkan setidaknya 50% pendapatan yang diambil dari ladang gas tersebut. Menurut ESDM, pembagian pendapatan seperti ini cukup menguntungkan. Keputusan investasi akhir diharapkan akan ditetapkan dalam dua hingga tiga tahun mendatang.

 Proses ini telah berlangsung selama 20 tahun. Namun, para investor semakin kehilangan minatnya karena pemerintah terus mengubah syarat dan ketentuan untuk pembangunan proyek ini.

 Dalam blok

 Selain blok Masela, Indonesia juga terus berupaya untuk meningkatkan minat investasi pada sektor hulu.

 Pada tanggal 7 Mei, pemerintah mengumumkan bahwa dua dari lima blok yang ditawarkan untuk perjanjian bagi hasil (production-sharing) telah diberikan kepada penawar.

 Kufpec, yang merupakan bagian dari Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company, telah memenangkan blok eksplorasi lepas pantai di Natuna. Di kesempatan lain, perusahaan joint venture Sonoro Energy dari Kanada dan Menara Global Energy mendapatkan haknya atas blok Selat Panjang yang berlokasi di Riau

 

Dua dari tiga blok telah diajukan kembali untuk mendapatkan persetujuan karena penawar awal tidak memenuhi persyaratan minimum. Blok tersebut ditawarkan kembali bersama dengan dua blok lainnya beberapa hari setelah hasil putaran sebelumnya diumumkan. Tawaran akhir akan diterima pada akhir Juli. Hal ini diharapkan dapat membantu eksplorasi hulu dan pengembangan hilir.

 Sejak mencapai nilai $2,6 milyar pada tahun 2015, investasi dalam sektor hilir terus menurun hingga $680 juta per tahun lalu. Kemerosotan ini mungkin mencerminkan kurangnya minat investor terhadap proyek pengembangan baru, adanya kendala biaya karena penurunan harga minyak, dan lambatnya pembukaan cadangan baru.

 Produksi menurun, kekhawatiran meningkat

 Dorongan untuk mengembangkan cadangan baru dan meningkatkan investasi terjadi pada saat tingkat produksi dan ekspor menurun. Hal ini juga menjadi peringatan terhadap prospek jangka panjang industri.

 "Minat terhadap investasi asing langsung tetap tinggi, namun BUMN harus memiliki peran yang lebih jelas," ujar Shinta Kamdani, CEO Sintesa Group, perusahaan konglomerat yang berminat di bidang energy dalam sebuah kesempatan,. "BUMN hingga kini masih mendapatkan banyak kontrak dari pemerintah, terutama di sektor energi."

 Menurut SKK Migas, pengiriman gas dari blok Mahakam pada kuartal pertama tahun ini menurun 39% di bawah target, dengan pengiriman rata-rata sebesar 667 juta scfd, jauh dari angka yang ditargetkan untuk tahun 2019 yaitu sebesar 1.1 milyar scfd.

 Penurunan produksi gas ini terjadi pada saat Indonesia menghadapi tantangan dalam menemukan pembeli LNG sehingga berdampak pada penjualan dan pendapatan ekspor.

 “Meminimalkan penurunan pendapatan negara dari ekspor LNG merupakan salah satu tujuan jangka pendek pemerintah,” Dwi Soetjipto selaku ketua SKK Migas. "Karenanya, penting sekali untuk merevitalisasi blok karena ada sekitar 65 blok yang tingkat produksinya terus berkurang."

 Ekspor LNG turun ke level terendah selama dua tahun terakhir per bulan April dengan pengiriman gas hanya mencapai 1,08 juta ton, menurun 20% dibandingkan dengan bulan Maret dan turun dari 1,03 juta pada bulan April 2017.

 Berkurangnya produksi dan minimnya kapasitas cadangan di Indonesia merupakan masalah yang semakin memprihatinkan. Indonesia terancam akan menjadi negara importir LNG pada 2021 apabila tidak mampu mengembangkan sumber-sumber output baru dan meningkatkan produksi gas dalam negeri.

 

Pergantian kebijakan dapat mengurangi investasi

 Namun, adanya persyaratan bagi produsen untuk berfokus pada pemenuhan pasar lokal dapat mengurangi minat investor terhadap proyek-proyek besar.

 Penundaan perjanjian akhir terkait blok Masela dan menurunnya investasi di sektor hilir mungkin dikarenakan oleh adanya perubahan kebijakan Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 yang mewajibkan pabrik pemrosesan gas dibangun di daratan dan tak boleh lepas pantai.

 Keputusan presiden juga telah mengubah fokus proyek Masela yang sekarang lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan tak lagi berfokus untuk ekspor.

 Pabrik pemrosesan lepas pantai yang pada awalnya diusulkan oleh Shell dan Inpex mungkin akan dibangun secara khusus untuk memudahkan pemuatan langsung kapal tanker LNG yang akan mengirimkan gas dari pabrik ke pasar internasional. Sebaliknya, pabrik di daratan mungkin akan lebih baik diarahkan untuk memenuhi permintaan lokal.