Kota Penyangga Sebagai Solusi Kemacetan Ibukota

Oleh : Hariyanto | Kamis, 14 Maret 2019 - 20:31 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Sepuluh tahun lagi, Jakarta (Jabodetabek) akan menjadi kota megapolitan terbesar di dunia, menggeser Tokyo yang saat ini berpenduduk 35,3 juta.  Menurut penelitian Euromonitor International,  jumlah populasi Jabodetabek akan mencapai 35,6 juta orang pada 2030.

Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di ibu kota. Sekaligus pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menyediakan sarana transportasi yang layak.  

Hasil Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014   menyebutkan 28 juta penduduk Jabodetabek berumur 5 tahun ke atas, 13 persen merupakan penduduk komuter. Persentase  tertinggi  di Kota Depok (20 persen), Kota Bekasi (20 persen), dan Kota Tangerang Selatan (18 persen) persentase komuter terendah terdapat di Kabupaten Tangerang (6 persen). Untuk wilayah provinsi DKI Jakarta, persentase komuter tertinggi terdapat di wilayah Jakarta Pusat (15 persen).

“Pemerintah harus bisa menyediakan sistem transportasi publik yang nyaman, aman, murah serta menjangkau lebih banyak tujuan masyarakat,” kata Yayat Supriyatna dalam gelar wicara 'Peran Kota Penyangga Dalam Mengatasi Kemacetan Ibukota' di Marketing Lounge Podomoro Golf View, Kamis (14/3/2019).

Merujuk data Bank Dunia, biaya transportasi maksimum adalah 10 % dari pendapatan per bulan. “Sementara di Jabodetabek, masyarakat menengah ke bawah rata-rata menghabiskan 43 persen. Bandingkan dengan Cina hanya 7 %, Singapur 3 % dari pendapatan per bulan,” kata dia. Karena itu, tak heran jika transportasi menjadi salah satu penyebab kemiskinan. 

Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat total jumlah perjalanan orang di Jabodetabek pada tahun 2015 mencapai 47,5 juta orang per hari. Jumlah itu terdiri dari pergerakan dalam kota sebesar 23,42 juta, komuter 4,06 juta dan pergerakan lainnya yang melintasi Jabodetabek sebesar 20,02 juta orang per hari. 

“Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018, penanganan transportasi Jabodetabek dituangkan dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ),” kata Direktur Prasarana BPTJ, Heru Wisnu Wibowo. 

Sebagai implementasi, Presiden Joko Widodo telah membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sebagai instansi yang memilik tugas dan fungsi mengintegrasikan penyelenggaraan transportasi di Jabodetabek.

Sasaran yang diharapkan tercapai dari implementasi RITJ secara substansial adalah terciptanya sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi di seluruh Jabodetabek, berbasis angkutan umum massal. Hal tersebut untuk mengurangi kecenderungan  penggunaan kendaraan pribadi,  yang menyebabkan kemacetan.

“Indikator kinerja utama BPTJ adalah mengupayakan pergerakan orang dengan angkutan umum  mencapai 60 persen dari total pergerakan orang,” imbuhnya.

Indikator lainnya adalah waktu perjalanan asal tujuan maksimal 1,5 jam pada masa puncak, kecepatan rata 30 kpj pada masa puncak, cakupan pelayanan angkutan umum 80 persen dari panjang jalan di perkotaan.

“Juga menyediakan akses jalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter, setiap daerah punya feeder yang terintegrasi, serta fasilitas pejalan kaki dan park and ride dengan jarak perpindahan antarmoda 500 meter,” kata Heru Wisnu Wibowo.

Karena itu, kota-kota penyangga dapat berperan melalui dukungan untuk mengakomodir pergerakan masyarakat. “Pergerakan masyarakat dapat diminimalisir dengan pengembangan kawasan yang berorientasi transit pada masing-masing kota penyangga,” jelasnya.

Assistant Vice President Podomoro Golf View, Alvin Andronicus menjelaskan, pengembangan kota baru Podomoro Golf View merupakan salah satu cara pihaknya dalam mendukung pemerintah mengatasi kemacetan. Di kawasan hunian terpadu yang dibangun terdapat stasiun LRT, park and ride serta feeder untuk kendaraan umum.

“Dengan fasilitas yang ada, baik penghuni maupun masyarakat sekitar dapat memanfaatkan dengan baik sehingga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” jelasnya.

Upaya lainnya adalah dengan menyediakan seluruh kebutuhan masyarakat di PGV, mulai dari pendidikan, kesehatan, wisata, dan sebagainya, sehingga diharapkan meminimalisir perjalanan ke luar kawasan.  Kawasan PGV diperkirakan akan dihuni sekitar 60 ribu jiwa.