Kepala BPJT: Pembenahan untuk Efisiensi Harus Diikuti dengan Penegakan Hukum

Oleh : Dina Astria | Selasa, 03 Juli 2018 - 09:20 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Integrasi tol adalah sebuah upaya untuk meningkatkan efesiensi. Jika diilustrasikan, kalau transaski sebelumnya dilakukan dengan tiga kali, kali ini hanya cukup satu kali. Dampaknya, mengurangi antrean panjang yang selama ini terjadi di gardu tol.

Sehingga, yang tadinya dari bandara pengguna harus berhenti untuk transaksi di Kamal, Kayu Basar, kemudian di Meruya, dan kalau mau ke Tanjung Priok, juga harus berhenti lagi di Rorotan, kali ini tidak akan terjadi lagi.

Penjelasan itu disampaikan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR Heri Trisaputra Zuna dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB’9) dengan tema "Integrasi Tol Dukung Sistem Logistik Nasional" di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Senin (2/7/2018).

“Inilah yang kerap menimbulkan antrean panjang. Kita mau menghilangkan hambatan sehingga pengguna cukup satu kali transaski. Untuk golongan satu, satu kali transaski hanya Rp 15.000. Itu untuk jarak pendek. Tapi kalau jarak panjang menjadi Rp 34.000,” ujar Heri.

Jika kebijakan ini diterapkan dengan baik, menurut Kepala BPJT, orang tidak harus antre berkepanjangan. Ini yang akan menjadi nilai lebih dari sistem sebelumnya, yakni dengan gabungan tiga sistem terbuka menjadi satu system.

“Hitung-hitungannya, ada yang namanya panjang rata-rata sehingga didapat angka Rp 15.000. Yang tarifnya turun tidak hanya untuk golongan 1, tapi juga yang lain,” ungkap Heri.

Selam ini, menurut Kepala BPJT, 90 persen biaya logistik ada di jalan. Sehingga, dengan sistem seperti ini bisa menekan biaya logistik di jalan. Tarif termurah, yakni golongan V yang tadinya harus membayar 5 kali, jadi hanya dua kali. Ini jelas lebih menguntungkan bagi penguna jalan.

“Kebijakan ini tidak hanya untuk mengurangi biaya, tapi juga harus diikuti oleh penegakan hukum. Truk-truk yang melintas harus bisa lebih ditertibkan. Pembenahan dilakukan untuk efisiensi, tapi penegakan hukum juga perlu dilakukan,” ulas Heri.

Karena jika tidak ada penegakan hukum, lanjut Heri, truk yang lewat yang tidak sesuai aturan akhirnya membuat banyak jalan yang rusak. Dan biayanya malah bisa menjadi lebih besar.

“Pertanyaan dasarnya, apakah kendaraan harus banyak berhenti hanya untuk membayar atau transaksi? Seberapa besar efesiensi ini harus kita teruskan jika ada yang lebuh bermanfaat dari kebijakan sebelumnya?” jelas Heri.

Karena, menurut Kepala BPJT, sesungguhnya badan usaha tidak memperoleh tambahan pendapatan. Kalaupun ada, untuk mensubsidi pengguna angkutan kelompok atau golongan yang lain. Artinya, yang tadi mebayar lebih maha sesungguhnya mensubsidi angkutan publik ynag melintas

“Ini yang harus kita dorong, yakni keberpihakan terhadap logistik dan subsidi angkutan publik. Ini haru terus kita tingkatkan. Memang ada yang berkaitan dengan kriteria kecepatan tempuh. Itu 40 km/jam di dalam kota. Ini sepakat kita penuhi. Tapi tetap harus kita batasi. Jangan semuanya bisa masuk. Harus ada kriteria. Agar jalan tol tadi memenughi kriteria kecepatan jalan,” papar Heri.

Ke depan, menurut Kepala BPJT, akan dilakukan secara teknologi. Kalau sudah memenuhi kapasitas, ditutup. Kalau jalur sudah kembali longgar, baru dibuka lagi.

“Seperti diketahui, pada 2017 kita memutuskan traksaksi manual ke elektronik untk mengurangi antrean di gerbang. Volemenya besar tapi gardunya sedikit. Kalau kita mau loss, kita harus hilangkan. Semua harus pakai elektronik,” jelas Heri.

Dan ke depan, menurut Kepala BPJT, akan menggunakan teknologi. Kendaraan tidak usah berhenti, tapi tercatat kendaraannya dan tinggal didebet saja dari pengguna kendaraan tersebut. “Ketika kita beri nilai tambah, pasti masyarakat pengguna kendaraan bisa menerima. Yang terpenting ada manfaat dari sistem yang dikeluarkan,” pungkas Heri.