Reformasi Rekrutmen Hakim Mahkamah Konstitusi

Oleh : R Ferdian Andi R | Senin, 30 Januari 2017 - 21:42 WIB

INDUSTRY.co.id - Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim Mahkamah Konstitusi inisial PA menggenapi peristiwa tiga tahun lalu atas diri Ketua MK, Akil Mochtar, dalam kasus suap dalam perkara perselisihan hasil pilkada. Akil divonis penjara seumur hidup atas kasus tersebut.

Rupanya, kasus tersebut tidak membuat jera institusi yang mendapat julukan The Guardian of the Constitution itu. Beda rupa beda pola. Begitu juga dalam OTT pada Rabu (25/1) malam, dugaan suap dalam perkara ini terkait pengujian undang-undang (PUU).

Berbeda dengan perselisihan hasil pilkada atau pemilu yang baru muncul saat proses pilkada atau pemilu, pengujan undang-undang (PUU) bisa disebut sebagai core bussiness MK. Sepanjang waktu, masyarakat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh undang-undang, dapat diujimaterikan maupun diujiformilkan MK. Makanya, dalam praktiknya MK identik dengan pengujian UU.

Padahal dalam UUD 1945, MK memiliki kewenangan tidak sekadar persoalan PHPU atau PUU, namun juga memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) dan pembubaran partai politik. Hal ini tercantum di Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.

Dugaan suap dalam perkara PUU tentu mengejutkan. Setidaknya, bila dugaan ini benar dibuktikan secara hukum, tentu harus menjadi peringatan sangat keras bagi MK untuk melakukan perubahan secara radikal di lembaga yang didirikan pada tahun 2003 tersebut. Kasus ini secara sarkastis dapat disebut sebagai jual-beli norma hukum.

Norma (legal substance) yang merupakan unsur penting dalam sistem yuridis tak lain sebagai jantung sistem hukum. Tak kalah penting unsur lainnya legal structure dan legal culture. (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective,1975) Kasus dugaan suap yang melibatkan hakim MK berinisial PA secara radikal juga telah merusak bangunan sistem yuridis baik norma, struktur maupun budaya hukum khususnya internal MK. Maka, pilihan yang harus segera dilakukan dengan cara mereformasi internal MK.

Rekrutmen hakim MK bila merujuk Pasal 18 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan sembilan hakim MK diajukan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Tiap lembaga mengajukan tiga hakim.

Kasus yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar pada tahun 2013 lalu, di sisi lain telah memberi hikmah penting proses rekrutmen calon hakim MK dari unsur DPR. Akil Mochtar yang notabene hakim MK berasal dari usulan DPR, memberi dampak konkret bagi DPR dalam mengubah mekanisme rekrutmen hakim MK dari unsur DPR.

Pada tahun 2014, DPR membuat terobosan penting dalam proses rekrutmen calon hakim MK dengan membentuk tim pakar untuk penyaringan. Unsur tim pakar tersebut mewakili masyarakat, seperti akademisi, perumus amendemen konstitusi, serta tokoh. Saat itu, sejumlah nama mengisi komposisi Tim Pakar DPR, di antaranya Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Laica Marzuki, Natabaya, Pataniari Siahaan, Zein Bajeber, Musni Umar, Andi Mattalata, dan Saldi Isra.

Kerja tim pakar DPR dalam rekrutmen calon hakim MK dari unsur DPR nyatanya tidak sekadar formalitas karena signifikan menentukan calon hakim MK. Rekomendasi nama-nama calon hakim MK dari tim pakar setelah uji kompetensi dan integritas akan dipilih DPR. Tiga nama hakim MK yang saat ini bertugas, Arief Hidayat (Ketua MK), Aswanto dan Wahidudin Adams merupakan produk kerja tim pakar DPR.

Poin penting keberadaan tim pakar di antaranya partisipasi dan keterlibatan masyarakat memberi masukan terhadap figur calon hakim MK. Poin penting ini semestinya menjadi tradisi yang bisa diadopsi dalam rekrutmen jabatan publik melalui DPR. Sayang, langkah Komisi III DPR tersebut belum ditransformasikan dalam proses rekrutmen jabatan publik lain, sepeti calon anggota BPK dan jabatan publik lainnya.

Ubah Rekrutmen

Momentum OTT KPK terhadap hakim inisial PA dari usulan Presiden semestinya menjadi bahan koreksi bagi Presiden dan MA untuk mengubah rekrutmen. Setidaknya terobosan yang dilakukan DPR pada awal tahun 2014 lalu dapat diadopsi.

Kritik dari masyarakat sipil saat penunjukan PA oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu mencerminkan minimnya partisipasi masyarakat dalam rekrutmen calon hakim MK dari unsur Presiden. Padahal, keterlibatan publik dalam memilih jabatan seperti hakim menjadi unsur penting dalam upaya reformasi lembaga peradilan.

Langkah Komisi Yudisial (KY) dalam rekrutmen calon hakim agung MA untuk diserahkan ke DPR juga memiliki spirit partisipasi masyarakat dalam rekrutmen calon hakim. Spirit ini semestinya dapat ditransformasi Presiden, termasuk MA dalam mengusulkan calon hakim MK.

Rekrutmmen calon hakim MK semestinya dilakukan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi masyarakat. Beban kerja yang cukup tinggi serta putusan yang sifatnya final and binding serta berdampak luar biasa bagi hajat hidup orang banyak, tidak ada alasan dilakukan secara tertutup, sembunyi, apalagi dilakukan di bawah meja.

Komitmen transparan dalam proses rekrutmen calon hakim MK harus menjadi kesadaran bersama. Ini untuk mengembalikan kredibilitas MK yang runtuh karena perilaku oknum internal. Perubahan proses rekrutmen calon hakim MK ini juga menyelipkan harapan atas masa depan lembaga peradilan yang berwibawa dan berintegritas. Perubahan rekrutmen juga memberi pesan penting, MK tidak akan roboh oleh hakim nakal. MK harus tetap kokoh untuk terus mengawal konstitusi.

Penulis adalah Peneliti Hukum Konstitusi ASHTN Indonesia yang juga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta

Sumber: koranjakarta