Friksi Perdagangan AS-China Meningkat, Momentum Ekspor Akan Menurun di 2018.

Oleh : Hariyanto | Jumat, 08 Juni 2018 - 12:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Walaupun Manufacturing Purchasing Managers Index (PMI) regional sebagian besar tetap ekspansif, namun tetap menurun pada bulan April yang menunjukkan berkurangnya momentum aktvitas. Tren serupa telah terbukti dalam data perdagangan terakhir yang menunjuk pada perlambatan pertumbuhan ekspor.

Di sisi lain, penurunan dalam perdagangan global kemungkinan tidak akan terjadi - meskipun ada risiko penurunan dari friksi perdagangan AS-Cina. Memang, walau friksi telah meningkat baru-baru ini, skenario yang paling mungkin adalah AS memberlakukan tarif sebesar 25% pada sekitar US $50 miliar impor Tiongkok dan Tiongkok membalas serupa.

Hal ini setara dengan sekitar 0,4% dan 0,2% dari PBD Cina dan PBD AS masing-masing, dan mengurangi pertumbuhan PBD Cina sekitar 0,1 ppt pada 2018-19, dengan dampak yang lebih kecil di AS.

Mengomentari hal di atas, Mark Billington, Direktur Regional ICAEW Asia Tenggara, mengatakan, kemungkinan besar pemberlakuan tarif masih dapat diatasi. Perdagangan intra-regional yang lebih besar dan peningkatan kontribusi permintaan domestik terhadap PDB akan melindungi pertumbuhan Asia sampai taraf tertentu.

"Namun, ketegangan ekonomi yang lebih luas dan persaingan antara AS dan Cina memang tengah meningkat, dengan implikasi jangka panjang yang serius, terutama di bidang teknologi.” kata Mark Billington melalui keterangan resmi yang diterima INDUSTRY.co.id, Jumat (8/6/2018).

Di sisi domestik, prospek tetap positif. Kondisi pasar tenaga kerja yang membaik serta meningkatnya upah di banyak negara Asia Tenggara akan menjadi pertanda baik untuk konsumsi. 

Momentum dari pemulihan yang kuat dalam investasi swasta (tidak termasuk konstruksi) di sebagian besar negara Asia Tenggara pada tahun 2017 diperkirakan sebagian akan berpindah ke tahun 2018.

Pengecualian untuk hal ini adalah kewaspadaan untuk investasi di Malaysia menyusul kemenangan pemilu baru-baru ini oleh partai koalisi Mahathir dan peninjauan ulang yang direncanakan atas semua proyek infrastruktur yang besar.

Kondisi moneter masih mendukung meskipun mengalami pengetatan

Sebagian besar bank sentral Asia Tenggara telah mulai mengetatkan kebijakan moneter. Hal ini akan menyebabkan biaya pembayaran hutang yang lebih tinggi. Namun, suku bunga perlu naik jauh lebih cepat daripada proyeksi kami saat ini untuk hutang dapat secara bermakna merusak pertumbuhan di seluruh negara.

 Sebaliknya, mengingat tekanan inflasi yang terkandung, sebagian besar bank sentral diperkirakan akan pasif untuk sisa tahun ini dengan tingkat suku bunga yang tertinggal dari Federal Reserve AS. Di sisi lain, ada risiko lokal bahwa Indonesia akan menaikkan suku bunga lagi untuk mendukung rupiah.