Ombudsman Temukan Enam Indikasi Maladministrasi dalam Impor Beras

Oleh : Ahmad Fadli | Senin, 15 Januari 2018 - 12:13 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menemukan enam indikasi maladministrasi dalam kebijakan impor 500 ribu ton beras. Pemberian izin impor beras dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan di Kementerian Perdagangan.

Ombudsman telah telah melakukan pemantauan di 31 provinsi dari tanggal 10-12 Januari 2018. Dari peta keluhan pedagang, stok beras pas-pasan, tidak merata dan harga meningkat tajam sejak Desember, selain itu Ombudsman melihat gejala mal administrasi dalam situasi ini, kata anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, dikantornya Senin (15/1/2018) adapun Enam indikasi tersebut antara lain seperti yang dikemukan dalam konferensi persnya :

1. Penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik

Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup, hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil. Gejala kenaikan harga sejak akhir tahun, tanpa temuan jumlah besar, mengindikasikan kemungkinan proses model perhitungan yang digunakan selama ini. Akibat pernyataan surplus yg tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru.

2. Mengabaikan prinsip kehati-hatian.

Keputusan impor beras untuk distribusikan ke pasar khusus secara langsung dilakukan dalam masa yang kurang tepat. Hasil Ombudsman di 31 provinsi 10-12 Januari 2018 stok di masyarakat pas-pasan dan tak merata, namun ada dalam situasi menjelang panen. Diperlukan kehati-hatian.

3. Penggunaan kewenangan untuk tujuan lain

Pasal 6 huruf c Perpres No 48/2016 mengatur Perum Bulog melakukan pemerataan stok antar wilayah sesuai kebutuhan. Dalam situasi current stock pas dioptimalkan terlebih dahulu adalah pemerataan stok.

Dalam situasi stok di Bulog menipis, dan psikologi pasar cenderung mengarah padaharga merangkak naik, maka jikapun harus impor tujuannya adalah untuk meningkatkan cadangan dalam kerangka stabilisasi harga. Bukan untuk mengguyur pasar secara langsung, apalagi pasar khusus yang tidak cukup signifikan permintaannya.

4. Penyalahgunaan Kewenangan

Pasal 3 ayat 2 huruf d Perpres No 48/2016 dan diktum KETUJUH angka 3 Inpres No. 5/2015 mengatur bahwa yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Perum Bulog.

Hal ini juga didukung oleh dokumen notifikasi WTO terhadap Perum BULOG sebagai STE. Penunjukan PT PPI sebagai importir berpotensi melanggar Perpres dan Inpres.

5. Prosedur tak patut/Pembiaran

Diktum Kedelapan Inpres No 5/2015 ,mengatur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan Inpres tersebut. Apakah kordinasi sudah dilakukan secara patut?

Bagaimana peran Deputi terkait dalam mengelola dan mensinkronkan informasi dan data dari setiap kementerian dan lembaga yang dikoordinasi ?

6. Konflik kepentingan

Permendag No 1/2018 yang dibuat begitu cepat dan tanpa sosialisasi juga berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan . Apakah impor beras khusus termasuk yang diatur pemerintah penugasannya, apakah kelangkaan beras khusus yang menyebabkan naiknya harga beras? Apakah PT PPI yang ditunjuk sudah berpengalaman melaksanakan operasi pasar?