Disruption Tak Berakibat Negatif Bagi Industri Manufaktur

Oleh : Ridwan | Kamis, 11 Januari 2018 - 19:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Disruption atau gangguan pada industri manufaktur dapat berakibat negatif bila ada tidak sigap dihadapi, namun sebaliknya mempunyai kesempatan untuk berinovasi dan berevolusi jika melihatnya secara positif.

Managing Director Proven Force Indonesia (PFI) Suwandi Ardibrata menerangkan saat ini, industri manufaktur tidak lepas dari pengaruh tekanan teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, serta tren pasar yang saling berkaitan.

"Tidak mudah bagi industri manufaktur untuk mendikte pasar menerima produk yang tergolong usang dan tidak dikemas dengan inovasi," ujar Suwandi Ardibrata dalam CEO Gathering 2018 "15 Tahun PFI Membangun Daya Saing" di Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Menurut Suwandi, hal tersebut selaras dengan pernyataan Menteri Perindustrian yang mengatakan bahwa setiap industri harus bisa melakukan inovasi. Lebih lanjut, dia mengungkapkan disrupsi pada sektor manufaktur merupakan bagian dari transformasi.

Lebih lanjut, ia mengungkaokan, disruption industri manufaktur ini menjadi suatu momentum dan kesempatan untuk berinovasi dan berevolusi, seperti halnya peluang untuk menarik pelanggan baru, pasar baru, sumber material baru dan teknologi baru yang terbuka luas untuk dieksplorasi yang menyediakan kesempatan tanpa batas untuk ekspansi dan berkembang.

Untuk itu, tambahnya, kalangan pebisnis tidak perlu khawatir dengan proses tersebut. Disrupsi pada industri manufaktur, dipandang sebagai kesempatan lain untuk berkembang, menemukan sumber material lain, teknologi terbaik, serta eksplorasi tanpa batas.

Suwandi merinci ada beberapa kekuatan yang menyebabkan terjadinya disruption pada industri manufaktur, antara lain: pertama, customized demand yaitu perubahan pada permintaan pelanggan yang menginginkan lebih banyak penyesuaian dan personalisasi.

Kedua, pergeseran output industri manufaktur dengan konektivitas yang lebih baik. Ketiga, produk yang lebih ekonomis sebagai akibat dari perubahan metode produksi yang canggih.

Terakhir, value chain yang ekonomis sebagai dampak dari intelijensi dan digitalisasi manufaktur.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara menilai bahwa korporasi tidak perlu khawatir dengan disruption dari teknologi.

Sebab, teknologi hanya merupakan alat bagi disruption, karena disruption yang sebenarnya adalah pola pikir atau bussiness process yang baru.

"Maka dari itu industri harus mencari orang- orang yang mempunyai pemikiran yang selalu mencari cara baru, dengan itu membuat korporasi menjadi memiliki resilience (daya tahan), mempunyai ketahanan terhadap potensi gangguan dari kompetisi," tuturnya.