Gelar Seminar, Pushati FH Usakti ‘Kuliti’ PP 28/2022: Harus Direvisi

INDUSTRY.co.id - Jakarta – Pusat Studi Hukum Konstitusi (Pushati) Fakultas Hukum Universitas Trisakti menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Membedah PP 28/2022: Dilema Piutang Negara vs Prinsip Negara Hukum”.
Seminar nasional ini menghadirkan beberapa narasumber antara lain, Direktur Jenderal Administrasi Hukum UMUM (AHU) Kementerian Hukum, Widodo, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, Guru Besar Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, Wicipto Setiadi, serta Pakar Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas ATmajaya Yogyakarta, W. Riawan Tjandra. Acara ini dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Hukum Unuversitas Trisakti, Siti Nurbaiti.
Dalam sambutannya, Ketua Pushati FH Usakti, Ali Rido mengatakan, isu yang kami angkat dalam seminar kali ini merupakan isu yang sangat penting, akan tetapi selalu luput dari perhatian publik.
Menurutnya, masalah penyelesaian Piutang Negara merupakan masalah yang sudah lama dihadapi pemerintah, namun tidak kunjung usai. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah salah satunya dengan menerbitkaan PP 28/2022 tentang Panitia Urusan Piutang Negara justru berpotensi melanggar asas prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUD RI 1945.
“Negara tidak boleh sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan yang justru kontraproduktif terhadap prinsip dan tatanan konstitusionalisme,” tegasnya.
Ali Ridho berharap melalui seminar nasional ini dapat melahirkan gagasan-gagasan untuk merevisi dan menyempurnakan PP 28/2022.
Dalam paparannya, Widodo menyebutkan bahwa PP 28/2022 sebenarnya bertujuan untuk memperkuat tugas dan wewenang pengurusan piutang negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
“Dengan PP 28/2022 diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penagihan dan penyelesaian piutang negara,” jelas Widodo.
Dikesempatan yang sama, Hamdan Zoelva menganggap PP 28/2022 tumpang tindih dengan norma yang lebih tinggi. Seharusnya, terang Hamdan Zoelva, sebagai sebuah peraturan delegasi atau peraturan pelaksana, maka PP tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi, termasuk dengan undang-undang yang mendelegasikan yaitu, UU 49 prp 1960.
“Sebagai contoh, perluasan subjek penanggung hutang dalam PP 28/2022 telah menabrak dan bertentangan dengan berbagai norma undang-undang serta prinsip-prinsip hukum umum yang diakui secara universal. Belum lagi pengaturan soal Paksa Badan, tindakan keperdataan dan layanan publik yang seharusnya tidak boleh diatur dalam level PP, karena sesuai konstitusi jelas ditegaskan seluruh pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia harus diatur dalam level Undang-Undang,” paparnya.
Sementara itu, Wicipto Setiadi mengatakan bahwa sejumlah pengaturan di dalam PP 28/2022 terdapat potensi disharmoni dan pertentangan terhadap UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
“Jika tanpa pembatasan atau control administratif yang jelas, ada potensi pelimpahan wewenang berlebihan ke PUPN,” katanya.
Selain itu, PP 28/2022 juga bertentangan terhadap UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurutnya, jika tidak ada mekanisme keberatan dan pengawasan yang transparan, ini bisa bertentangan dengan asas due process.
“PP tersebut juga bertentangan dengan Hak Konstitusional Warga Negara, kewenangan PUPN melakukan penyitaan dan pelelangan dapat memicu potensi pelanggaran hak milik jika prosedurnya tidak mematuhi prinsip-prinsip hukum acara yang adil,” pungkas Wicipto.