Presiden Jokowi Diminta Turun Tangan Atasi Kisruh Heli AW 101 Agar Tidak Dipolitisasi

Oleh : Herry Barus | Selasa, 15 Agustus 2017 - 06:57 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Polemik kasus Helikopter AgustaWestland AW 101 masih berlanjut. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI kembali menetapkan satu tersangka baru berinisial Marsda SB. Sikap Puspom ini diprotes sebagai tindak kesewenang-wenangan karena SB baru sekali diperiksa sebagai saksi sudah langsung ditetapkan sebagai tersangka. Apalagi penetapan itu tanpa surat panggilan

Praktisi hukum Urbanisasi mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan agar kasus ini tidak dipolitisasi dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi sejumlah jenderal di TNI Angkatan Udara.

"Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru ditunjuk pada bulan Juli 2017 dan baru memulai audit. Namun pihak Puspom TNI sudah menjustifikasi pembelian itu berindikasi korupsi dan sudah menetapkan tersangkanya, dasarnya apa, " ujar Urbanisasi dalam siaran persnya di Jakarta,  Senin (14/8/2017).

Menurut Urbanisasi, masalah ini tidak boleh jadi uji coba tanpa mengindahkan fakta hukum. "Langkah yang dilakukan penyidik TNI sudah menyimpang jauh, harus kita cegah, karena jika tidak dicegah bisa menjatuhkan citra lembaga TNI," kata Urbanisasi yang kini menjadi kuasa hukum dari SB yang ditetapkan sebagai tersangka.

Urbanisasi mengaku prihatin dengan cara-cara Puspom. "Surat panggilannya saja tidak ada, kemudian dia tidak tahu disangkakan melakukan apa, salahnya dimana, terus kasusnya apa kok tiba-tiba sudah dinyatakan tersangka, apalagi penetapan ini tidak dilakukan secara lazim dalam institusi kemiliteran, yakni berikan dulu surat pemeriksaan, lanjut surat pemberitahuan hingga penetapan, jadi harus pakai prosedur, tidak sesukanya sendiri," kata dosen Pasca Sarjana Universitas Tarumanegara ini.

Penetapan tersangka tanpa surat panggilan, dikatakan Urbanisasi sebagai kesewenangan dan menyalahi prosedur hukum acara. "Ini saya katakan sebagai abuse of power, pihak Puspom telah terlalu jauh melangkah," ujarnya.

Seharusnya, lanjut Urban, Puspom memberitahukan ada masalah seperti ini. Ada fakta-fakta seperti ini bagaimana menyelesaikannya. Bukannya tiba-tiba mengumumkan penetapatan tersangka ke media di Kuta, Bali.

Menurut Urbanisasi, kasus itu bisa dibuktikan jika pihak TNI membentuk tim investigasi atau pencari fakta gabungan. Kemudian membentuk peradilan koneksitas agar bisa memiliki kewenangan menyidik perkara korupsi atau perkara di luar hukum militer. "Puspom menurut saya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi," katanya.

Urbanisasi melihat dalam kasus ini tidak ada perspektif pidananya. "Tidak ada alat bukti yang mengarahkan itu sebagai tindak pidana kita menunggu BPK merilis apakah ada unsur kerugian negara, tapi hingga BPK belum menyampaikan apapun terkait hasil audit, tapi tiba-tiba Puspom sudah memaksakan kasus itu, ini ada apa," kata Urban dengan nada bertanya.

Juru bicara BPK Yudi Ramdan Budiman memastikan BPK belum pernah merilis audit yang menghitung kerugian negara dalam pembelian Helikopter AW 101. "BPK saat ini masih mengaudit pengadaan alat utama sistem persenjataan di Kementrian Pertahanan, Mabes TNI, dan tiga angkatan, tapi tidak spesifik untuk Helikopter AW 101," katanya.

Kasus dugaan korupsi pembelian satu Helikopter AgustaWestland AW 101 terus menggelinding di tangan Pusat Polisi Militer TNI yang menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Jumat 4 Agustus, Komandan Pusat Polisi Militer TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko menetapkan dua perwira sebagai tersangka baru kasus ini.

Pada Mei, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah lebih dulu mengumumkan tiga perwira lain sebagai tersangka. Kini, total ada lima perwira Angkatan Udara yang dijerat pasal korupsi oleh polisi militer dengan pangkat tertinggi Marsekal Muda atau jenderal bintang dua.