Industri Sigaret Kretek Tangan, Bukan Hanya Soal Tembakau, Tapi Menyangkut Periuk Nasi Jutaan Buruh dan Mata Rantai Ekonomi

Oleh : kormen barus | Minggu, 03 Desember 2023 - 09:45 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Meramaikan makan malam di sebuah warung pecel Ayam di Kawasan ramai Pasar Senen, Jakarta Pusat, November 2023 lalu, para ibu ibu  pecinta pecel ayam, bercerita ngalor ngidul soal Serial Gadis Kretek yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan berapa aktor ganteng yang menarik perhatian mereka. Serial yang merupakan adaptasi dari novel fiksi sejarah karya Ratih Kumala ini, menuai pujian para penggemar.

Dari obrolan soal serial Gadis Kretek itu, Cerita pun berkembang ke sejarah singkat perjalanan industri rokok. Ada seorang ibu yang mengatakan bahwa,  produsen rumahan rokok kretek itu berawal  di Kudus, Jawa Tengah. Bahkan awalnya sebagai obat. Kemudian ibu lainnya menimpali dan bersambung ke aturan ketat soal rokok dan nasib parah buruh rokok yang kebanyakan perempuan.

“Ya mba sedih. Buruh pabrik rokok itu banyak perempuan. Seperti ibu saya, adalah buruh pabrik rokok. Selama puluhan tahun keluarga saya di pabrik rokok sebagai buruh,”ujar Suyem, perempuan muda, dengan mata menerawang penuh ketajaman.

Perempuan berkulit bening ini, merasa tersentuh dengan  obrolan itu. Pasalnya, sebagai anak dari seorang buruh pabrik rokok pelintingan Sigaret  Kretek Tangan (SKT)  di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dirinya sudah menyatu dengan industri rokok.

“Ini sudah bagian dari periuk nasi kami,”ujarnya.

Namun suyem, tak mampu menyembunyikan rasa geramnya. Suaranya  yang tadi tampak kalem, terdengar bergetar ketika cerita berkembang ke  soal perlakukan terhadap industri rokok saat ini.

Perempuan yang mengaku bekerja sebagai peracik jamu gendong itu, mengatakan, kalau singgung rokok pelintingan, membawa dirinya selalu teringat akan ibunya yang berprofesi sebagai buruh harian di sebuah pabrik rokok  SKT di kampung halamannya, Kudus, Jawa Tengah.

“Sedih dan takut Mas kalau pabrik rokok ditutup ya. Nanti keluarga saya, bagaimana kedepannya. Ayah kami sudah lama tiada. Sementara Ibu adalah tulang punggung keluarga. Andalan utamanya dari buruh rokok. Ya, alhamdulilah, dari keringat ibu di pabrik rokok, kami semua bisa sekolah hingga SMA. Ya, saya sampai SMP. Pekerjaan ibu itu sebagai buruh pelintingan rokok pake  tangan mas dan sangat mencinai pekerjaan itu. Kata ibu saya,  bos-bos di pabrik, menyebut kerjaan mereka itu eskate (SKT-Sigaret  Kretek Tangan-red), “ujar sunyem, mengingat akan jasa ibunya.

Ibunda Suyem hanyalah salah satu contoh dari ribuan perempuan  buruh lainnya yang menggantungkan nasibnya pada pabrik rokok SKT. Ibunda Suyem dan perempuan lainnya menjalani banyak perkerjaan terkait  SKT.

Ada yang menggiling tembakau, melinting dengan kertas papir, merapikan batang rokok, hingga proses merapikan ke kemasan.

Kegundahan Suyem akan  nasib ibunya yang jadi tulang punggung keluarga, dapat dimengerti. Pasalnya, pabrik SKT berperan besar dalam menyanggah ketahanan pangan keluarganya.

Termasuk Multiplier efek pada mata rantai ekonomi UMKM sekitar pabrik, penyumbang pajak dan kontribusi pada perekonomian negara.  

Tapi sayang, keringat ibunda Suyem dan ribuan buruh perempuan yang ikut menyumbang pendapatan negara, selama puluhan tahun masih dipandang sebelah mata. Industri rokok terutama SKT selalu menjadi anak tiri di negerinya sendiri.

“Ya mas nasib pabrik selalu diganggu, tapi uang pajaknya diambil ya,”ujarnya seloroh canda.

Memang, keluhan klasik terhadap kondisi pertembakaun khususnys SKT dan bermacam ragam persoalan lainnya,  selalu menghantui iklim kerja mereka. Mulai dari regulasi Kesehatan, pengupahan, isu PHK, soal cukai dan ragam persoalan lainnya.

Yang paling anyar adalah soal rencana pemerintah mengeluarkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Pengamanan Zat Adiktif sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan) dan Peraturan Mentri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 tahun 2023 tentang penyesuian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan Industri padat karya.

Sontak saja kedua kebijakan tersebut  menuai banyak tanggapan pro dan kontra dari pelbagai aliansi, karena dikhawatirkan mengancam nasib para petani tembakau, para buruh, dan pabrik rokok konvensional.

Persoalan menjadi tema yang sering diperdebatkan  oleh banyak kalangan. Entakah itu pengusaha,  akademisi,  dewan perwakilan rakyat,  masyarakat umum, petani tembakau dan cengkeh, pemerintah sendiri,  termasuk pula kalangan pers yang kerap mengulasnya.

Tembakau dan cengkeh adalah komoditas yang sering dianggap kurang seksi dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Namun, tembakau dan cengkeh diakui pemerintah sebagai komoditas strategis nasional dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014.

Tumpuan Hidup Bagi 6 Juta Tenaga Kerja

Tembakau dan cengkeh yang diserap dalam industri hasil tembakau (IHT) menjadi tumpuan hidup bagi 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani, pekerja manufaktur hingga pekerja sektor kreatif.

Salah satunya adalah segmen SKT yang merupakan segmen padat karya yang menjadi tumpuan  ladang kerja bagi ratusan ribu tenaga kerja.

Segmen SKT dalam penyerapan tenaga kerjanya juga menerapkan inklusivitas pekerja.

"Pertama, sektor ini banyak melibatkan pekerja perempuan yang kini juga menjadi ibu rumah tangga. Pekerja dengan karakteristik tekun,  ulet dan rapi sangat dibutuhkan dalam proses produksi rokok SKT. Kedua, sektor SKT banyak ditemukan mempekerjakan  pekerja yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Kebijakan yang inklusif ini sangat jarang ditemukan pada industri lain yang  sama-sama bersifat padat karya," ujar I Ketut Budhyman Mudhara, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dalam gelaran Ngopi Bareng Media, Jumat (24/11).

Budhyman menekankan bahwa SKT adalah produk legal. Bahkan 90 persen produksi rokok yang beredar saat ini ditopang oleh SKT. Sayangnya, regulasi terkait pertembakauan saat ini belum mampu secara maksimal melindungi dan memberdayakan para ratusan ribu pekerja di segmen SKT. Oleh karena itu, sebagai bagian dari elemen ekosistem pertembakauan, SKT  perlu dilindungi dan diberdayakan agar semakin mampu menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian daerah serta nasional.

"Sangat penting memastikan bahwa dari sisi kebijakan, pemerintah pusat maupun daerah perlu mengupayakan untuk menjaga sektor padat karya ini demi kesejahteraan para tenaga kerja di dalamnya. Termasuk perlindungan melalui regulasi yang adil, berimbang, dan mendorong pemberdayaan serta daya saing SKT. Dengan demikian, eksistensi industri SKT dan pekerjanya dapat terus tumbuh dan  berdaya saing," tegas Budhyman.

Untuk diketahui, berdasarkan Proyeksi Ketenagakerjaan dan Sosial Dunia ILO dalam Tren 2023 (Tren WESO), pertumbuhan lapangan kerja global hanya akan sebesar 1% pada 2023, kurang dari setengah pertumbuhan pada 2022. Sedangkan di Indonesia sendiri, ketersediaan lapangan kerja juga merupakan isu yang pelik.

"Di sinilah semakin nyata peran penting SKT dalam serapan tenaga kerjanya yang signifikan. Para pekerja SKT didominasi oleh perempuan-perempuan yang mayoritas mengemban peran ganda sebagai tulang punggung keluarga. 97% pekerja SKT adalah para perempuan yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya, berhasil menyekolahkan anak-anaknya dan keberadaan pabrik SKT memberikan multiplier effect ekonomi di lingkungan masyarakat, " papar Budhyman.

Produksi SKT memang memerlukan ketrampilan dan kerajinan serta kesabaran dalam proses pembuatannya dan syarat ini cocok untuk kaum perempuan. Kinerja yang lebih teliti, rapi, mudah diatur, serta cepat dalam produksi menjadi pertimbangan pabrikan SKT merekrut tenaga kerja perempuan.

"Tidak hanya memberdayakan pekerjanya, kehadiran industri SKT juga turut memberikan efek ganda bagi perekonomian lokal di sekitar area pabrik. Misalnya warung makanan dan minuman, toko kelontong, angkutan umum, dan sebagainya. SKT adalah sektor padat karya yang menumbuhkan perekonomian daerah dengan menjadi mata rantai yang saling bergantung. Oleh karena itu, terganggunya kehidupan SKT pasti akan berdampak pada sektor penunjang lainnya," tambah Budhyman

Adapun beberapa daerah dengan keberadaan SKT yang memberikan multiplier effect ekonomi, di antaranya: Jawa Tengah (Kab. Kudus, Kabupaten Klaten, dan lainnya); Jawa Timur (Kota Surabaya, Kab. Kediri, Kab. Malang, Kabupaten Mojokerto, dan lainnya. Kemudian,  DI Yogyakarta (Kab. Sleman, Kab. Bantul) dan Jawa Barat (Kab. Majalengka, Kab. Cirebon). Kormensius Barus