Kemenkominfo: Web Telegram Jadi Sarana Favorit Terorisme Berkomunikasi

Oleh : Ahmad Fadli | Selasa, 18 Juli 2017 - 10:00 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan pemerintah tidak ingin memberi ruang bersembunyi bagi pihak-pihak yang dapat mengancam keberlangsungan negara melalui pemantauan media sosial.

“Kami hanya memantau yang punya niat untuk merusak tatanan negara ini,” tegas Semuel dalam Konferensi Pers Perkembangan Penutupan Akses Layanan Telegram di Ruang Roeslan Abdul Gani Kemkominfo, Senin (17/07/2017) kemarin.

Berkaitan dengan pemblokiran layanan Telegram berbasis web, Dirjen Semuel menjelaskan kemampuan layanan Telegram melalui web melebihi aplikasi chatting biasa. “Yang mampu mentransfer file 1,5 GB itu hanya melalui webnya, di situ mereka transfer informasi. Dan hasil pantauan kami, mereka banyak menggunakan web-based (untuk mentransfer konten terlarang),” jelasnya.

Dirjen Aptika menegaskan pihak Telegram telah mengakui keterlambatan dalam merespons permintaan pemblokiran terhadap akun-akun yang terindikasi bermuatan radikalisme dan terorisme.

“Dari pihak Telegram mengakui mereka terlambat merespons apa yang menjadi permintaan kita. Telegram mengusulkan tiga langkah penanganan, dan kita (Pemerintah Indonesia, red) menambah satu. Mereka juga harus tahu bagaimana SOP (Standard Operating Procedure, red) kita,” papar Semuel.

Keempat SOP tersebut, menurut Dirjen Semuel antara lain dibuatnya government channel agar komunikasi antara Kemkominfo dengan Telegram menjadi lebih efisien, meminta otoritas sebagai Trusted Flagger terhadap akun atau kanal dalam layanan Telegram, membuka perwakilan di Indonesia, serta melakukan perbaikan dalam sisi proses, teknis, dan pengorganisasian tata kelola penapisan konten sesuai dengan aturan di Indonesia.

Sementara itu, Deputi 2 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Arief Darmawan menegaskan lembaganya melakukan koordinasi dan pemantauan media sosial yang memuat konten radikal sudah berbulan-bulan. Menurutnya, jika konten itu dibiarkan akan berpotensi menjadi bahaya yang luar biasa. “Penyebaran paham radikalisme yang paling efektif adalah menggunakan media sosial, itu tak terbantahkan,” paparnya.

Deputi Arief melanjutkan, pemblokiran Telegram ini seharusnya dapat menjadi pembelajaran dan peringatan bagi media sosial lainnya. “Justru kami berharap setelah Telegram ini tidak ada lagi. Ini bisa jadi peringatan untuk dan media sosial lainnya untuk tidak melakukan yang sama,” kata Arief.