CIPS: RI Punya Potensi Besar Jadi Basis Industri Farmasi di Asia Tenggara

Oleh : Ridwan | Senin, 23 Januari 2023 - 18:20 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Associate Reasearcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ronald Tundang mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk menjadi basis industri farmasi di wilayah Asia Tenggara. 

Namun demikian, untuk mencapai hal tersebut, industri ini perlu beralih menjadi industri berbasis inovasi.

“Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan hal tersebut. Misalnya menambah anggaran riset dan pengembangan serta menggunakan fleksibilitas pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” kata Ronald dalam pernyataan resminya, Senin (23/01).

Menurutnya, Indonesia merupakan salah satu proponen pengusul obat dan vaksin covid-19 sebagai komoditas publik melalui dukungannya atas pengecualian perlindungan hak atas kekayaan intelektual untuk obat dan vaksin covid-19 berdasarkan Perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan (Trade-related Intellectual Property Rights Agreement/TRIPs).

Dirinya melihat pemerintah telah mengambil kebijakan untuk mendorong kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi bahan baku obat (BBO), misalnya TKDN.

Selain itu pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Kebijakan kedua adalah insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi BBO," terangnya.

Ronald mengungkapkan dalam hal ini pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam kondisi normal dan kondisi mendesak semisal pandemi. 

Untuk itu kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat menambah harga obat dalam kondisi mendesak.

"Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua tujuan penting namun berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi," paparnya.

Dia melanjutkan, kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang memang dapat membuat harga obat terjangkau. Namun, hal ini tidak mudah karena dibutuhkan kapabilitas riset dan pengembangan yang tinggi.

Ronald menyampaikan, ada beberapa opsi untuk mengembangkan industri farmasi yang dapat diambil Indonesia. 

Pertama, Indonesia bisa mengikuti jejak India dan China dengan memproduksi obat generik. Atau, Indonesia bisa juga mengikuti jejak Amerika Serikat dan Swiss menjadi pusat pengembangan riset dan teknologi.

“Sejauh ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas mengenai hal ini,” jelas Ronald.

Jika Indonesia memilih opsi pertama, menurutnya strategi yang perlu disiapkan adalah identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya. Misalnya provisi ini membolehkan produsen obat generik di Indonesia untuk meminta izin pemasaran menggunakan obat paten yang masih berlaku. 

Selain itu, Provisi Bolar ini juga berlaku untuk opsi kedua. Banyak negara menggunakannya untuk kepentingan riset dan pengembangan. Meski begitu, dia mengatakan, Indonesia belum menjadi pilihan karena belum ada basis industri BBO serta kapasitas riset dan pengembangan yang masih rendah.

"Pemerintah juga sebaiknya meningkatkan kapasitas riset dan mengembangkan skala industri farmasi. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan. Saat ini anggaran riset dan pengembangan Indonesia merupakan yang terkecil di G-20, yakni 0,2% dari GDP," tututp Ronald.