Luar Biasa! Begini Kisah Perjuangan Ibu-Ibu Minangkabau yang Rela Sumbangkan Emas Kawin Hanya untuk Beli Kapal Terbang Pertama RI

Oleh : kormen barus | Selasa, 21 September 2021 - 12:06 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Kembali diperbincangkan di medsos, soal Kapal Perang pertama RI yang bernama AVRO ANSON. Setelah Metro TV menyiarkan dalam program "Melawan Lupa", Senin 20 September 2021 pkl 22.00, bahwa pesawat Avro Anson adalah kapal terbang pertama untuk RI yang dibeli dengan sumbangan emas "Amai-amai" (kaum Ibu) Minangkabau.

Seperti yang dikutip redaksi Industry.co.id bahwa kaum ibu atau bundo kanduang di Sumatera Barat pada 1947 berbondong-bondong menyumbangkan emas kawinnya agar Indonesia bisa punya pesawat terbang.

Dua staf Perwakilan RI di Singapura yang kebetulan putra Minangkabau yakni Letnan Penerbang Mohammad Sidik Tamimi alias Dick Tamimi dan Ferdy Salim mengetahui kabar rencana pembelian pesawat. Mereka lalu menghubungi Abu Bakar Lubis.

Mereka mengenalkan pialang bernama Savage. Kemudian, Savage mempertemukan tim pencari pesawat itu dengan seorang mantan pilot Royal Air Force Inggris, berkebangsaan Australia, Paul H Keegan.

Paul H Keegan memiliki sebuah kapal terbang berjenis Avro Anson bekas Perang Dunia II yang berada di Shongkla, Thailand Selatan. Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak pesawat yang sebelumnya digunakan dijualbelikan begitu saja, termasuk pesawat milik Keegan.

Harga cocok, yakni 12 kilogram emas. Pesawat diboyong. Pada awal Desember 1947, pesawat terbang jenis Avro Anson didatangkan ke lapangan udara Gadut Agam dengan nomor registrasi VH-BBY yang kemudian menjadi RI-003.

Pada saat pesawat pertama kali mendarat di pangkalan udara Gadut, semua orang yang melihatnya bersorak sorai Bahagia. Tak sedikit pula yang menangis terharu karena berhasil membantu negara dengan membelikan pesawat.

"Sebelum pesawat tiba, bandara sudah dipenuhi oleh banyak orang, dan ketika pesawatnya landing, orang-orang bersorak sorai Bahagia," kata Undri, pemerhati sejarah Minangkabau.

Jatuh di Selat Malaka

Usai mendapat identitas RI-003, pesawat yang baru dibeli langsung dipakai menuju Thailand mengantar Keegan sang penjual. Abu Bakar Lubis, Is Yasin, dan Dick Tamimi ikut serta. Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi juga ikut bersama.

Selain itu, mereka juga berniat membeli senjata serta barang-barang lain yang dibutuhkan di dalam negeri. Akan tetapi, mereka dituduh menyelundupkan candu dan emas oleh polisi setempat.

Akibatnya, Abu Bakar Lubis, Is Yasin, dan Dick Tamimi diusir. Mereka pergi dari Thailan lewat jalur darat menuju Malaysia, Singapura hingga Bukittinggi.

Sementara itu, Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi diperintahkan membawa pulang pesawat RI-003 oleh otoritas setempat. Mereka berangkat dari Thailand pada 14 Desember 1947.

Abu Bakar Lubis, yang pulang melalui jalur darat, mendapat kabar ketika tiba di Singapura. Dia mendapat telegram dari kepolisian berisi info satu unit pesawat Avro Anson jatuh di pantai Selat Malaka, Negeri Perak, Malaysia.

Dari pemeriksaan otoritas setempat, ditemukan sejumlah barang yang kemudian dipastikan bahwa itu semua milik Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi. Dengan demikian, pesawat yang jatuh itu memang RI-003.

"Jadi, pesawat Avro-Anson itu tidak pernah dioperasikan untuk kepentingan perjuangan sebagaimana yang diinginkan. Bangkainya terkubur dalam arus laut Selat Malaka, bersama sejarahnya yang tak pernah dipedulikan lagi," kata Undri, sejarawan Minang.

Pada tahun 2003, muncul keputusan pemerintah untuk membuat tugu berupa replika Avro Anson di bekas lokasi Lapangan Udara Gadut. Nama Iswahyudi diabadikan untuk lapangan terbang di Malang, sedangkan Halim Perdanakusuma dipakai untuk nama pangkalan utama TNI AU di Jakarta.

"Kaum Bundo Kanduang Sumatera Barat tidak pernah melihat hasil sumbangan perhiasan emas yang mereka serahkan untuk membeli pesawat itu," kata Undri.

Pada hari Bakti TNI AU ke-74 pada 29 Juli lalu, personel TNI AU mengecat ulang monumen pesawat Avro Anson. Komandan Pangkalan Udara Sutan Sjahrir, Kolonel Pnb. Muhammad Rizal Yudha Fahlefie mengatakan proses pengecatan memakan waktu dua pekan.

"Sejak dibangun pada 2003 lalu, monumen bersejarah itu belum pernah dicat. Sehingga kami melakukan proses pengecatan ulang pada pesawat. Warnanya harus dikembalikan ke warna asalnya, yaitu warna silver," jelas Fahlefie. (CNNIndonesia.com, Metro TV).