Impor Baja Makin Merajalela, Fernando: Ini Bentuk Kegagalan KS Tak Mampu Sediakan Bahan Baku Baja di Dalam Negeri

Oleh : Ridwan | Minggu, 19 September 2021 - 19:40 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Sepanjang Januari - Agustus 2021, terjadi peningkatan impor baja sebesar 66% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2020.

Hal tersebut disampaikan Ketua Indonesia Iron and Steel Industri Association (IISIA) Silmy Karim yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT. Krakatau Steel (KS), beberapa waktu lalu.

Disisi lain, peningkatan impor baja bahan baku tersebut menunjukkan bahwa industri nasional mampu bergeliat pada masa pandemi Covid-19.

Pengamat Kebijakan Publik dan juga aktivis '98 Fernando Emas mengatakan, Baja merupakan bahan baku berbagai produk konsumsi, baik yang berada di dalam lingkup produk turunan baja maupun produk-produk lainnya seperti otomotif, elektronika hingga kemasan makanan.

"Jangan dilihat impornya saja, mari kita lihat juga bahwa ekspor produk baja meningkat tajam dibanding periode tersebut, mencapai lebih dari 1.500%. Angka itu belum memperhitungkan nilai tambah yang diperoleh sektor industri penggunanya, juga substitusi impor pada produk turunannya. Ini yang seharusnya dianalisis.”, ujar Fernando ketika ditemui di Gedung Juang Menteng Jakarta Pusat (18/9).

Dijelaskan Fernando, ditengah masa pandemi Covid-19 sektor industri logam justru mengalami pertumbuhan yang signifikan. 

Berdasarkan catatan, sektor industri logam berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 18,3% di semester I/2021. Angka tersebut jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya tercatat sebesar 7,01%. 

"Tingginya laju pertumbuhan sektor industri logam tersebut didorong oleh meningkatnya utillisasi produksi dari 51,2% pada Januari 2021 menjadi 79,9% pada Juli 2021. Selain itu masuknya investasi baru baik dari dalam maupun luar negeri turut mendukung laju pertumbuhan tersebut," terangnya.

Berdasarkan data yang dilansir Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pertumbuhan investasi sektor industri logam pada triwulan II tahun 2021 sebesar 31,35% atau senilai USD 1,78  miliar dan Rp 1,67 triliun.

Fernando melihat bahwa persoalan impor baja ini adalah bentuk kegagalan Krakatau Steel yang tidak mampu menyediakan bahan baku baja di dalam negeri, walaupun investasi yang ditanam di BUMN ini sudah triliunan rupiah. 

Menurutnya, proyek mangkrak PT. Meratus Jaya Iron and Steel, anak perusahaan KS yang ada di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang sudah menyerap dana negara Rp 2 triliun lebih dari target Rp3,9 triliun seharusnya bisa menutup defisit impor baja nasional. 

"Hal ini merupakan bentuk kegagalan KS yang dipimpin Silmy Karim. Negara mengandalkan BUMN ini tetapi tidak dapat terwujud," pungkas Fernando.

Lebih lanjut, tambah Fernando, KS juga tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus. 

"Industri-industri tersebut tidak akan berkembang secara maksimal selama bahan baku bajanya tidak dapat dipasok dari dalam negeri. Alih-alih berusaha untuk melakukan diversifikasi produk, KS justru melakukan ekspansi ke sektor konstruksi yang merupakan sektor hilir. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat pada sektor hilir, mengingat saat ini sektor tersebut banyak diisi oleh industri berskala kecil-menengah (IKM)," katanya.

"Oleh karena itu, kinerja KS perlu dievaluasi lebih mendalam, mulai dari kebijakan perusahaan hingga operasionalnya. Saran saya, sudah saatnya KS memperoleh pimpinan baru yang mampu berpikir secara strategis dan visioner," imbuh Fernando.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif RODA Institute Ahmad Rijal Ilyas. Ia melihat tata niaga baja yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup bagus dan mempertimbangkan supply-demand baja dalam bentuk Hot Rolled Coil (HRC), Cold Rolled Coil (CRC), Coated Steel/Baja Lapis dan turunan baja lainnya dengan memperhatikan kebutuhan baja nasional.

"Jika KS mampu memasok kebutuhan produk-produk tersebut secara keseluruhan diyakini impor nasional akan berkurang baik dari sisi volume maupun jenis produk baja yang bermacam-macam untuk kebutuhan industri," sebut Ahmad Rijal.

Menurut Ahmad Rijal pelaku impor HRC dilakukan oleh pabrikan produk turunan yang juga juga anggota IISIA. 

"Seharusnya Ketua IISIA bisa menertibkan anggotanya yang melakukan pengalihan HS untuk menghindari tarif bea masuk. Di satu sisi, sebagian besar impor juga dilakukan oleh produsen yang memiliki fasilitas impor jalur prioritas (Mitra Utama Kepabeanan, dan Autorized Economic Operator/AEO)," katanya.

"Tercatat 50,6% impor baja dilakukan oleh produsen yang memiliki fasilitas tersebut dan juga anggota pabrikan IISIA. Impor pada jalur prioritas dapat dilakukan tanpa adanya Pre-shipment Inspection (PSI), suatu proses yang memverifikasi kesesuaian produk baja yang diimpor dengan dokumen impornya, yang dilakukan oleh Surveyor (KSO Sucofindo-Surveyor Indonesia atau Anindya Wiraputra Consult). Justru ini pertanyaan besar," tegas Ahmad Rijal.

Ia juga menyoroti investasi Hot Strip Mill (HSM) 2 oleh KS untuk produksi Hot Rolled Coil (HRC). Menurut Rijal investasi itu baik karena pasar baja dalam negeri sangat menjanjikan, namun tidak dapat menyelesaikan masalah impor bahan baku. 

"Operasi HSM 2 sangat bergantung pada bahan baku impor, yang saat ini terjadi pada HSM 1 yang telah beroperasi lebih dulu," tutupnya.