Huft... Rencana Pajak Karbon Bakal Bikin Industri Tekstil Makin Tersiksa

Oleh : Ridwan | Kamis, 29 Juli 2021 - 08:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pemerintah tengah merancang pengenaan pajak karbon mulai tahun 2022 dengan tarif Rp 75/kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak karbon ini diyakini dapat mengurangi emisi karbon dalam upaya memitigasi perubahan iklim. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menilai pengenaan pajak karbon tersebut kurang tepat jika dibebankan kepada industri dalam negeri. 

Menurutnya, jika hal ini benar-benar diterapkan akan berimbas pada daya saing industri tekstil terhadap gempuran produk impor.

"Industri dalam negeri akan tersiksa. Biaya beban kerja akan naik seiring dengan pemberlakuan pajak karbon yang diterapkan oleh pemerintah. Pengaruh tersebut akan berimbas pada kenaikan harga produk industri tekstil sebesar 20%," kata Rizal melalui keterangan tertulisnya di Jakarta (28/7/2021).

Rizal juga menjelaskan bahwa industri tekstil menghasilkan emisi karbon dalam proses produksinya. Proses polimerisasi pada industri hulu dan penggunaan batu bara di masing-masing pembangkit listrik industri akan terkena dampaknya.

"Jika tujuannya untuk mengurangi emisi karbon dengan menggunakan instrumen pajak, itu salah besar. Industri juga dituntut untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, sedangkan investasi teknologi itu mahal dan memerlukan waktu untuk mengadopsi teknologi tersebut," ucap dia.

Ia juga menerangkan pajak karbon memiliki efek domino. Perusahaan listrik, minyak dan gas dalam negeri juga akan merasakan dampaknya dari pajak karbon ini. Kenaikan biaya listrik, minyak dan gas akan dibebankan kepada pelaku usaha dan masyarakat.

"Pajak karbon ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah. Kenaikan harga minyak, gas dan listrik juga tidak dapat dihindari kalau pajak karbon ini benar-benar diterapkan," papar Rizal.

Sementara itu, Analis Industri dan Perdagangan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi mengusulkan penggunaan insentif emisi karbon bagi industri dalam negeri. 

Dengan ini, menurutnyan, industri akan terdorong untuk mengganti energi lama menjadi energi terbarukan.

"Pendekatannya perlu menggunakan insentif. Insentif ini diberikan jika perusahaan tersebut berhasil mengurangi emisi karbonnya. Dengan begitu, perusahaan yang berbondong-bondong meninggalkan teknologi lama dan beralih ke teknologi yang ramah lingkungan," ucap Aqil.

Aqil juga memberikan alternatif lain seperti melakukan perdagangan karbon kepada negara-negara industrial maju. Pasalnya, permasalahan emisi karbon adalah masalah dunia yang perlu ditanggulangi bersama.

"Indonesia sebagai paru-paru dunia perlu mendapatkan dukungan dari negara-negara industrial. Mereka yang menghasilkan karbon harus membayar kepada Indonesia. Seperti tahun lalu, Norwegia memberikan Rp 812,86 miliar kepada kita karena berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan perubahan iklim, dan 
perdagangan karbon ini perlu dilanjutkan," kata dia.

Ia menambahkan, jika pajak karbon ini terpaksa diterapkan, sebaiknya pungutan kebijakan tersebut dapat dilakukan secara bertahap dan dibuatkan batas minimum pengeluaran karbon yang dihasilkan industri.

"Tentunya industri perlu waktu untuk mentransformasikan teknologinya. Penerapan ambang batas karbon juga perlu disesuaikan per sektor industri. Pengenaan pajak karbon ini dapat dilakukan setelah insentif pengurangan emisi karbon diberikan. Hal ini punishment kepada industri yang secara sengaja menambah emisi karbon pada proses produksinya," tutup Aqil.