Terkuak, Survei Ungkap 80% Siswa Tak Senang PJJ Karena Bosan dan Rindu Teman! Kemendikbud: Selama PJJ yang Sekolah Orang Tuanya...

Oleh : Nata Kesuma | Rabu, 21 April 2021 - 05:10 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), M. Nur Rizal berharap kondisi pandemi ini menjadi momentum untuk berbenah bagi dunia pendidikan dan bukan sekadar perubahan metode belajar, dari pembelajaran luring ke daring atau PJJ.

"Pandemi ini tidak hanya dimaknai sekadar persoalan tidak bisa tatap muka. Tetapi justru menjadi titik balik bagaimana melakukan reorientasi paradigma di bidang pendidikan dan perilaku atau budaya-budaya lamanya," kata Rizal sebagaimana dikutip redaksi INDUSTRY.co.id pada Rabu (21/4/2021).

Menurut Rizal, perubahan paradigma ini penting terwujud bukan hanya karena desakan pandemi Covid-19.  

Lebih dari itu, dunia pendidikan di Tanah Air juga perlu mengantisipasi era VUCA atau era yang sangat tidak menentu dan perubahannya terjadi begitu cepat.

Dimana para siswa bisa menemukan versi terbaiknya di dalam proses belajar mengajar yang menekankan pendidikan pada pengembangan talenta, minat, bakat yang berbeda supaya anak dapat tumbuh dengan kualitas yang sama.

Selain itu, perubahan lain adalah agar guru tidak hanya melakukan transfer ilmu saja, namun juga memfasilitasi anak untuk menemukan solusi sendiri dari setiap permasalahan yang dihadapi.

"Gurunya itu menuntun kodrat anak-anak kita. Jika di depan dia memberi inspirasi, di tengah menjembatani dan di belakang mendorong anak-anak kita sehingga semua anak secara inklusif mendapat pendidikan dengan kualitas yang sama," terangnya.

Di sisi lain, Rizal menuturkan, GSM melakukan survei pelaksanaan PJJ selama pandemi. Survei ini 94 persen dilakukan di sekolah jejaring GSM. 

Hasilnya cukup mengejutkan, dimana 20 persen menyatakan senang sedangkan 80 persen tidak senang. 

Survei menunjukkan bahwa siswa senang melakukan PJJ karena belajarnya santai (23 persen), waktunya fleksibel (11 persen) dan skill internet yang naik (10-15 persen).

Sementara siswa yang menjawab tidak senang PJJ itu karena bosan (20-26 persen), rindu ketemu dan bermain dengan teman (40 persen), kurang paham instruksinya (19 persen), kendala internet (13-14 persen) dan susah konsentrasi (14-15 persen).

Yang menarik dari hasil survei ini, terang Rizal, adalah siswa lebih senang dengan metode pembelajaran PJJ berbasis project atau problem based learning dibandingkan hanya sekadar membahas materi dari LKS. 

Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik memang menginginkan pola pembelajaran yang berbeda.

"Kebutuhan diferensiasi pembelajaran, kebutuhan setiap anak diberi ruang untuk belajar berdasarkan pola, kebutuhan dan talenta sendiri. Problem based dan project based ini sepertinya bisa mewakili itu," pungkasnya.

Sementara itu, Direktur SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Purwadi Sutanto menyampaikan bahwa jumlah sekolah yang memenuhi daftar periksa setiap harinya terus bertambah.

Hal ini menandakan, antusiasme satuan pendidikan untuk melakukan persiapan pembelajaran tatap muka (PTM) kian besar. 

Pasalnya, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau sekolah daring tidak cukup efektif, bahkan pelaksanaan PJJ daring selama ini, cenderung menimbulkan learning loss.

"Terutama di level bawah. PJJ daring harus pakai device. Sedangkan di daerah yang tidak terjangkau sinyal harus pakai guru kunjung," ujarnya.

Tidak hanya itu, proses PJJ pun semakin tidak efektif mengingat tugas yang diberikan guru kepada siswa ternyata tidak selalu dikerjakan.  

"Terkadang orang tuanya yang mengerjakan. Jadi selama PJJ yang sekolah orang tuanya, bukan anaknya," tandas Purwadi.