Sesat Pikir Angket KPK

Oleh : Januari Sihotang, S.H.,LL.M. | Kamis, 11 Mei 2017 - 18:02 WIB

INDUSTRY.co.id - Jumat, 28 April 2017, akhirnya DPR menyetujui bergulirnya hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kendati sempat menuai perdebatan dan hujan interupsi dari kalangan anggota DPR, namun ketokan palu Fahry Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR menjadi salah satu pertanda bahwa hak angket sudah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR.

Bergulirnya hak angket terhadap KPK tidak terlepas dari adanya ketakutan DPR terkait keterangan yang diberikan Politisi Hanura Miryam S Haryani ketika dilakukan penyelidikan oleh KPK. Miryam S Haryani sendiri merupakan salah satu saksi kunci dalam perkara megakorupsi pengadaan KTP Elektronik (E-KTP) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp2,3 Triliun. Uang tersebut diduga telah dibagi-bagi oleh beberapa orang anggota DPR dan dari kalangan eksekutif.

Hak angket kepada KPK diinisiasi sekitar 26 orang anggota DPR lintas fraksi, Terdapat beberapa poin yang menjadi alasan DPR mengeluarkan hak angket tersebut. Pertama, DPR menilai bahwa KPK sudah melanggar prinsip negara hukum yang demokratis dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Ketiga, KPK didesak untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam karena ada indikasi Miryam memberikan kesaksian palsu.

Cacat Formil dan Materil

Dalam persepektif hukum tata negara, hak angket sendiri memang merupakan salah satu hak istimewa yang dimiliki DPR. Menurut Pasal 20 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR memiliki tiga fungsi seperti fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Hak angket sendiri lahir dari fungsi pengawasan tersebut bersama dengan hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat.

Menurut ketentuan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang MPD3), pengertian hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Jika membaca ketentuan tersebut, maka hak angket KPK merupakan sesuatu yang aneh dan cacat, baik secara materil maupun formil. Secara formil, DPR seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk menggulirkan hak angket yang ditujukan kepada KPK. Alasannya, KPK bukanlah bagian dari pemerintah (eksekutif). KPK adalah lembaga negara independen yang tentu tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif.

Memang, bisa saja kata ‘pemerintah’ sebagai objek hak angket dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 ditafsirkan lebih luas oleh DPR. Dimana, makna pemerintah dalam arti luas berarti semua lembaga negara yang ada, termasuk KPK. Namun, jika dikaitkan dengan sejarah lahirnya hak angket, maka hal tersebut menjadi tidak relevan lagi. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD 1945, hak angket lahir sebagai salah satu konsekuensi dianutnya prinsip checks and balances di Indonesia. Dalam prinsip checks and balances, hak angket muncul sebagai salah satu cara sekaligus instrument lembaga legislatif untuk mengawasi dan mengimbangi kekuasaan lembaga eksekutif. Bagaimanapun, tanpa checks and balances akan memberikan peluang munculnya kekuasaan eksekutif yang tirani dan otoriter.

Menruut ketentuan dalam UU MD3, jika hak angket sudah disetujui, maksimal 60 hari setelah terbentuknya panitia angket, harus diambil keputusan mengenai hasil penyelidikan yang telah dilakukan panitia angket tersebut. Keputusan ini akan diambil dalam rapat paripurna DPR. Di sinilah kejanggalan jika hak angket ditujukan kepada KPK. Seyogyanya, muara dari hak angket adalah hak menyatakan pendapat yang dapat saja menjadi pintu pemakzulan bagi Presiden dan/Wakil Presiden sebagai pemerintah. Sementara dalam hak angket KPK tidak diketahui bagaiamna akhir dan siapa yang dimakzulkan sebagai implikasi hukum dari hak angket tersebut. Selain itu, patut juga untuk dipertanyakan langkah DPR yang langsung mengetok hak angket tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu dari KPK melalui hak interpelasi.

Selain lemah secara formil, hak angket KPK juga terkesan lemah dan ngawur secara materil. Semua tuntutan yang diajukan DPR dalam hak angket KPK sesungguhnya sudah dilakukan KPK setiap tahunnya. Misalnya, dalam hal tata kelola anggaran, KPK sudah mendapatkan hasil audit dari BPK. Bahkan hasil yang didapatkan sangat baik (A).

Selain itu, dalam hal transparansi publik, KPK sangat terbuka melalui Laporan Tahunan yang dapat diakses oleh publik. Proses pemeriksaan atau penyelidikan hingga penuntutan sendiri tidak termasuk dalam bentuk transparansi publik.

Jika pengungkapan rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani dinilai sebagai salah satu bentuk transparansi, maka DPR sudah sangat keliru. Di belahan dunia manapun, rekaman proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah hal yang bersifat tertutup dan rahasia. Selanjutnya, hal tersebut akan diungkap ke publik ketika kasus sudah diajukan ke pengadilan. Justru ketika DPR mendesak KPK untuk membuka rekaman tersebut merupakan salah satu bentuk intervensi dalam penegakan hukum.

Lemahnya dasar formil dan materil tersebut semakin membuktikan bahwa hak angket KPK adalah angket akal-akalan. DPR kelihatan panik dan menggunakan berbagai macam upaya untuk melawan KPK demi menyembunyikan borok sendiri. Tak bisa dipungkiri, sebelum angket KPK ini bergulir, DPR juga sudah berulang kali berusaha ‘menyerang’KPK.  Beberapa kali anggota DPR sudah berwacana untuk mengubah Undnag-Undnag Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Januari Sihotang, S.H.,LL.M. (Penulis adalah dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen; Wakil Ketua Assosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sumatera Utara.