Temui Menperin Agus Gumiwang, Ketum Asaki Desak Segera Tetapkan Pembatasan Pelabuhan Impor & Minimum Import Price

Oleh : Ridwan | Sabtu, 23 Januari 2021 - 12:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Asosiasi Industri Aneka Keramik Indonesia (Asaki) berharap pemerintah segera melakukan langkah-langkah konkret dalam melindungi industri keramik dalam negeri antara lain, pembatasan pelabuhan impor tertentu dan penetapan minimum import price.

Upaya tersebut dilakukan untuk mempertahankan momentum pemulihan dan kebangkitan industri keramik nasional pasca penurunan harga gas menjadi USD 6 per MMBTU.

"Industri keramik nasional harus mendapatkan atensi khusus terlebih sebagai industri strategis yang menyerap jumlah tenaga kerja cukup besar lebih dari 150 ribu orang dengan TKDN yang tinggi rata-rata diatas 75%," kata Ketua Umum Asaki Edy Suyanto dalan keterangan resminya yang diterima redaksi Industry.co.id di Jakarta, Sabtu (23/1/2020).

Dalam pertemuan dengan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita beberapa waktu lalu, Asaki juga mendesak pemerintah agar lebih serius dan segera melakukan langkah konkret untuk mengatasi melonjaknya produk-produk keramik impor yang terus menggerus daya saing industri keramik nasional.

"Kita mengharapkan atensi serius dan langkah konkret dari pemerintah sesuai misi Kementerian Perindustrian untuk program substitusi impor," tuturnya.

Berdasarkan data dan statistik yang dihimpun Asaki, angka produk impor keramik dari China, India dan Vietnam semakin meningkat dengan defisit perdagangan ekspor impor keramik dari tahun ke tahun semakin besar. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit ekspor impor sudah mencapai USD 1,1 miliar dalam kurun waktu 2015 - 2020.

Dijelaskan Edy, Asaki menilai penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard sejak tahun 2018 dan akan berakhir pada Oktober 2021, tidak cukup efektif menahan laju impor karena terbukti besarnya defisit perdagangan ekspor impor sejak tahun 2019 - 2020 sebesar USD 655 juta.

Menurutnya, angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan defisit tahun 2015 - 2018 yang hanya sebesar USD 453 juta.

Lebih lanjut, Edy mengungkapkan bahwa kurang efektifnya penerapan safeguard ditenggarai beberapa faktor antara lain adanya unfair trade seperti pemberian tax rafund export keramik oleh pemerintah China, penipisan ketebalan keramik yang secara tidak langsung menurunkan kualitas produk untuk mengejar efisiensi biaya pengiriman, indikasi praktek dumping dimana harga jual keramik pasca safeguard sedikit lebih rendah dibanding sebelum safeguard, serta indikasi transhipment dari Malaysia untuk produk-produk dari China dan Vietnam.

Oleh karena itu, lanjut Edy, Asaki sedang mengajukan perpanjangan safeguard dengan besaran bea masuk harus lebih besar minimal 35-40% dibanding sebelumnya 19-23%.

"Terlebih serbuan produk impor keramik jenis Homogeneus Tiles (HT) ini menyebabkan idle capacity sebesar 56% untuk industri keramik sejenis domestik," ungkap Edy.

Asaki optimis industri keramik dalam negeri akan mampu bangkit kembali ke masa kejayaan di tahun 2013 sebagai Big Five Top Ceramic Manufacturing Countries jika mendapatkan dukungan dan atensi dari pemerintah.

Adapun tahun 2021, Asaki memproyeksikan utilitas kapasitas produksi industri keramik dalam negeri berkisar di level 74-75%.

"Angka tersebut meningkat cukup baik dibanding tahun 2020 yang hanya sebesar 56% dan tahun 2019 sebesar 65%," tutup Edy.