KPK Belum Dapatkan Informasi Tertulis Hak Angket

Oleh : Herry Barus | Rabu, 03 Mei 2017 - 03:31 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mendapatkan informasi resmi secara tertulis terkait hak angket yang diusulkan DPR RI saat KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.

"Kami belum mendapatkan informasi resmi secara tertulis terkait hak angket. Kami baru mengetahui dari informasi yang berkembang dan di KPK masih dipertimbangkan lebih lanjut apa sikap kelembagaan yang akan kami lalukan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/5/2017)

Namun, kata Febri, sejauh ini sudah disampaikan bahwa KPK tidak mungkin membuka bagian dari bukti-bukti apakah itu bagian dari rekaman pemeriksaan atau bukti-bukti lain yang sedang digunakan dalam penyidikan dengan tersangka Miryam.

"Untuk memahami soal hak angket kita bisa baca Undang-Undang MD3, kalau kita lihat misalnya di Pasal 79 dan penjelasannya di sana sudah cukup 'clear' disebutkan hahwa hak angket adalah proses penyelidikan untuk pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah," tuturnya.

Febri juga menyatakan dalam Pasal 79 itu juga dijelaskan bahwa konteksnya adalah terhadap pemerintah dalam hal ini bisa Presiden, Menteri, dan jajarannya di eksekutif termasuk badan pemerintah nonkementerian.

"Jadi, KPK tidak termasuk di sana karena badan pemerintahan nonkementerian ini juga diatur di UU ASN dan turunannya. Oleh karena itu, dalam konteks pengawasan yang kami lakukan selama ini dalam posisi, misalnya, KPK menyampaikan laporan pertanggung jawaban tahunan atau laporan akuntabilitas dan kinerja termasuk kami juga sampikan untuk menjawab atau merespons apa yg ditanya Komisi III dalam pada RDP," ujarnya.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu, kata dia, konteksnya adalah Komisi III sebagai mitra KPK di mana secara tegas diatur di Undang-Undang KPK.

"Jadi konteksnya pertanggungjawaban KPK ke publik dan juga laporan-laporan yang disampaikan KPK, misalny,a dalam keuangan diaudit oleh BPK. Di sisi lain, ada konsep yang sangat mendasar soal penegakan hukum harus dipisahkan dengan proses politik," ucap Febri.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam rapat paripurna DPR menyetujui penggunaan hak angket terkait pelaksanaan tugas KPK seperti diatur dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK meski ada tiga fraksi yang menolak yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat dan Fraksi PKB.

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.

Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.

Miryam S Haryani telah ditetapkan sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP Elektronik (KTP-E) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.