Covid-19 dan Teori Ekonomi Adam Smith

Oleh : Suhendra Atmaja | Minggu, 29 November 2020 - 10:32 WIB

INDUSTRY.co.id - Sejak ditemukanya pasien Covid-19 pada Maret 2020, penderita Covid-19 hingga kini belum menunjukan penurunan penderita kearah lebih baik. Bahkan sejumlah orang mengatakan bahkan Indonesia memasuki Phase ke 2 penyebaran Covid-19. Mudah-mudahan ini tidak benar. 

Yaa.. Pendemi Covid-19 belum berakhir, jumlah penderita bahkan masih belum mengalami penurunan signifikan. Data Gusus Tugas Covid-19 menunjukan pada 28 November 2020, terdapat penambahan pasien Covid sebanyak 5.418 orang, jumlah yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Pandemi Covid-19 memang sudah membuat perekonomian terpuruk. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan tidak sedikit juga usaha yang harus gulung tikar. Pegawai pemerintah saat ini masih lebih banyak bekerja online dari rumah, dunia Pendidikan masih tarik ulur untuk membuka Pendidikan tatap muka.

Pandemi Covid-19 terus berjalan, juga membuat pola aktivitas masyarakat berubah. Kini, masyarakat banyak melakukan kegiatan terpusat dari rumah. Perubahan yang terjadi selama pandemi Covid-9, memaksa hadirnya norma-norma baru di kalangan konsumen. Norma baru tersebut, seperti cara bekerja, konsumsi, interaksi sosial, dan sebagainya.

Penulis akan mencoba membahasnya dalam perpektif ekonomi  mikro.  Meski Covid-19 terus menghantui, Namun sebenarnya di bidang ekonomi, sepanjang ada pembeli, ekonomi akan tetap hidup, bisnis akan jalan terus, walau insensitas transaksi mau tidak mau mengalami penurunan. Seperti sebuah teori ekonomi klasik Demand and Suplay yang pertama kali diungkap oleh Ekonom Skotlandia, Adam Smith.

Kita harus  percaya selalu ada peluang dalam situasi suram. Kita juga harus yakin selalu ada kesempatan disetiap kesulitan.  Kondisi lockdown atau PSBB, bisa dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis, tidak hanya sekadar survival saja.

Apa yang harus dilakukan? Salah satunya adalah kita harus dapat  membaca kondisi psikologi dan perilaku konsumen di masa pandemi, baik secara subyektif maupun obyektif, serta faktor kognitif maupun emosi. Kunci utamanya ada pada keselarasan antara rancangan dan strategi bisnis dengan kebutuhan konsumen, harus melihat peluang kira-kira bisnis apa yang masih prospek di era pendemi ini.

Kita lihat pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki yang menyebutkan, transaksi penjualan online meningkat hingga 350% di tengah pandemi Covid-19.

Hal ini juga ditunjang oleh hasil penelitian terbaru yang diungkap Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sepanjang masa pandemi Covid-19 tercatat ada peningkatan hingga lebih dari 300 ribu pengusaha baru yang masuk ke ranah online, ini menarik dan Menjadi hal yang baru di Indonesia bahkan di dunia.

Jadi dapat kita lihat bahwa Pandemi Covid-19 ini bukan hanya sekedar ancaman namun peluang bagi sektor jasa agar lebih beradaptasi dan bertransformasi di sektor perekonomian, dan pemerintah perlu lebih banyak membantu aktivitas bisnis serta perekonomian berbasis teknologi informasi.

Salah satu contohnya Adalah pandemi Covid-19 berhasil mempercepat bahkan memaksa terjadinya transformasi bisnis makanan dan minuman serta aktivitas jual belinya dari tradisional menjadi daring atau online lewat prinsip digitalisasi. Apakah kita bisa memafaatkan peluang ini ? semua tergantung kita, mau bergerak atau tetap terpuruk Dalam kondisi pendemi, wallahualam bissawab.

Suhendra Atmaja, M.M. M.Si: Dosen Perguruan Tinggi Swasta dan Profesional Media Massa