Gara-gara PLB Pengusaha Meradang, Ekspor Benang ke AS Senilai US$ 8,3 Juta Terancam Gagal Total

Oleh : Ridwan | Jumat, 27 November 2020 - 13:45 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pertengahan November ini, United State International Trade Commision (USITC) menginisiasi tuduhan dumping atas produk benang filament tekstur polyester (PTY) asal Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menduga bahwa tuduhan ini disebabkan karena ekspor yang dilakukan oleh perusahaan Pusat Logistik Berikat (PLB) ke Amerika Serikat ditahun 2019.

"Pihak USITC, menginformasikan bahwa ada 11 perusahaan Indonesia yang mereka tuduh melakukan dumping, setelah kami cek anggota kami hanya 7 perusahaan, 2 perusahaan produsen lain bukan anggota APSyFI dan sisanya adalah perusahaan dagang (trader) serta perusahaan logistik di PLB, bukan produsen," kata Redma melalui keterangan resminya di Jakarta, Jumat (27/11/2020).

Berdasarkan data perdagangan ke AS, telah terjadi lonjakan impor produk benang filament Indonesia ditahun 2019 sebesar 69,9% menjadi 6,8 ribu ton atau senilai USD 13,3 juta.

"Setelah kami cek, ekspor yang dilakukan anggota kami ditahun 2019 hanya sekitar 5 ribu ton atau senilai USD 8,3 juta, anggota kami pun tidak ada yang menjual  produknya ke perusahaan di PLB, mereka ekspor langsung, sehingga dapat dipastikan bahwa sekitar 1,8 ribu ton PTY yang di ekspor ke AS bukan produk asli Indonesia," jelasnya.

"Jadi besar dugaan kami bahwa ini produk transhipment dari China atau India yang masuk lewat PLB kemudian dilabeli produk Indonesia dan diekspor ke AS, karena ditahun 2018 PTY China dan India lebih dulu terkena anti dumping di AS," tambah Redma.

Kemudian APSyFI menganalisa harga satuannya dimana harga jual ekspor anggotanya rata-rata diatas USD 2 per kg, sedangkan produk ekspor dari PLB diperkirakan hanya USD 1,7 per kg.

"Harga USD 1,7 per kg inilah yang menyebabkan produsen lokal AS mengajukan petisi anti dumping bagi PTY Indonesia," ungkap Redma.

Redma mengatakan bahwa produk transhipment yang diekspor ke AS ini pasti mendapatkan Surat Keterangan Asal (SKA) dari Indonesia karena memang sudah jadi persyaratan ekspor ke AS.

"Jadi gara-gara ekspor produk transhipment asal China atau India lewat PLB, produk kita juga terbawa kena tuduhan dumping, dan kita akan kehilangan pasar ekspor PTY sebesar USD 8,3 juta," tuturnya.

Dalam hal ini, APSyFI sedang mempertimbangkan mengambil jalur hukum atas kerugian material yang akan diderita anggotanya.

Sebelumnya kalangan tekstil nasional juga mempersoalkan sepak terjang PLB karena terbukti menjadi jalan masuk karpet merah untuk produk impor kain dan benang yang membanjiri pasar domestik dan menekan kinerja industri TPT nasional sepanjang 2018-2019.

Atas kejadian ini, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi diawal tahun 2020, Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani yang juga menemukan banyak bukti pelangaran berkomitment untuk menutup PLB bagi produk tekstil.

Untuk itu, seluruh kalangan tekstil baik APSyFI yang mewakili industri tekstil hulu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang mewakili sektor antara dan hilir hingga Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) bersama-sama meminta pemerintah untuk segera merevisi PERMENDAG 77 2019 yang menjadi cantolan hukum PLB.

"Kita semua sepakat agar untuk impor produk TPT tidak boleh lagi lewat PLB atau Gudang Berikat (GB) dan hanya API-P yang diperbolehkan impor untuk kebutuhan bahan bakunya setelah diverifikasi," jelas Redma.

Namun pihaknya mendapatkan informasi bahwa Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan masih menginginkan PLB untuk tekstil tetap bisa beroperasi dengan alasan kebutuhan bahan baku sehingga revisi PERMENDAG 77 2019 masih alot.

"Mudah-mudahan informasi yang kami terima salah, karena aneh juga kalua Bea Cukai dan Kemendag mengurusi kebutuhan bahan baku, kan bukan tupoksi mereka, itu kan tupoksi nya Kementerian Perindustrian” ungkapnya. “Dan untuk dorongan ekspor, kan sudah ada Kawasan Berikat (KB) serta Kemudahan Impor Tujuan ekspor (KITE), tidak lagi perlu PLB atau GB," tambahnya.

Menurut Redma, posisi Kemenperin sudah sangat jelas tidak menginginkan PLB, karena target Menteri Perindustrian menurunkan impor hingga 35%.

Mengutip Direktur Tekstil Kemenperin, Redma mengatakan bahwa Kemenperin menginginkan pertumbuhan industri dan ekspor yang didorong oleh investasi dan integrasi hulu-hilir, bukan pertumbuhan semu yang didorong oleh impor.

"Ini waktunya bagi kita untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri, impor-impor ini sudah merusak industri TPT dalam beberapa tahun terakhir dan menyebabkan dorongan negatif bagi investasi," pungkasnya.