Simaakk! World Bank Ungkap 8 Juta Orang Tak Akan Jatuh Miskin Jika Bantuan Pemerintah Cepat dan Tepat Sasaran

Oleh : Candra Mata | Kamis, 10 September 2020 - 09:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Di tengah ketidakpastian ekonomi, berbagai strategi dan kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi. 

Menurut Onny Widjanarko, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, ada beberapa kebijakan baik yang telah dan akan dilakukan yang perlu diakselerasi sehingga ekonomi Indonesia dapat pulih lebih cepat.

“Penanganan COVID-19 perlu dipercepat sehingga aktivitas sosial meningkat dan berimplikasi pada peningkatan aktivitas transaksi ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang dapat berjalan dengan protokol kesehatan perlu dibuka. Perlu percepatan penyerapan anggaran dengan jumlah besar dan inklusif. Selain itu, restrukturisasai kredit terutama UMKM dan perluasan pemanfaatan digital juga merupakan pilihan yang tepat,” tutur Onny dalam keterangan tertulisnya dilansir redaksi Industry.co.id pada Kamis (10/9).

Sementara menurut Ralph Van Doorn, Senior Economist World Bank, bangkitnya ekonomi di tengah ketidakpastian dapat dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi, perdagangan dan inovasi dan meningkatkan kemampuan para pekerja melalui program Kartu Prakerja.

Ralph menilai langkah yang diambil Pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi belanja produktif di sektor kesehatan, bantuan sosial dan dukungan terhadap industri dianggap tepat. 

“Bantuan sosial sangat penting agar masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapat tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Sebab, tanpa program tersebut, kami memprediksi sebanyak 5,5 sampai 8 juta masyarakat Indonesia akan masuk ke dalam garis kemiskinan," ujar Ralph.

Untuk itu, ditegaskannya sangat penting program program tersebut dipercepat, tepat sasaran dan sesuai data.

"Kami melihat bahwa penyaluran program PKH dan Kartu Sembako sudah sesuai, namun, efektivitas penyaluran BLT Desa dan Kartu Pra Kerja masih bermasalah dan perlu ditingkatkan terutama menghilangkan aspek-aspek yang memperlambat pencairan,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa upaya Indonesia untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur perlu dilanjutkan sebab hal tersebut merupakan strategi kunci dalam pemulihan ekonomi paskapandemi. 

Selain itu, meratakan kurva utang juga perlu dilakukan sebab pembayaran bunga yang meningkat akan mengurangi ruang fiskal.

Dengan pelonggaran PSBB, kegiatan ekonomi mulai bergerak dan berdampak positif. Namun di sisi lain, hal ini berisiko menurunkan status kewaspadaan terhadap COVID-19. 

Menurut Ralph banyak negara, termasuk Indonesia, telah menghadapi trade-off antara memperlambat penyebaran COVID-19 dan mempertahankan aktivitas ekonomi. Melalui kebijakan yang tepat, ada peluang untuk bergerak dengan aman menuju New Normal. 

“Ada beberapa langkah konkret bagi Indonesia agar bisa mendapatkan peluang terbaik dalam membuka kembali perekonomian. Pemerintah harus fokus dalam memperluas kapasitas laboratorium pengujian, mengintegrasikan sistem informasi untuk pengawasan, mengumpulkan data dengan baik sehingga tingkat pandemi dapat diukur lebih akurat, memastikan ketersediaan dan kesiapan layanan kesehatan termasuk produksi dan distribusi vaksin COVID-19,” tandasnya.

Sementara itu, Dono Widiatmoko, dosen Health Economic, Senior Lecture University of Derby, Inggris, menyatakan bahwa efektivitas PSBB juga diragukan.

Ia melakukan penelitian evaluasi PSBB dari beberapa variabel seperti google mobility report, ojek online dan jumlah polutan udara di Jakarta.

Dirinya menyampaikan bahwa ada kelebihan dan kekurangan dari strategi tiap negara menghadapi COVID-19.

“Penanganan COVID-19 siapa yang paling benar di dunia ini, tak ada yang tahu. Contohnya New Zealand dengan Swedia, keduanya negara maju. Sementara penanganan COVID-19 keduanya berbeda 180 derajat. New Zealand full lockdown sementara Swedia tidak sebab mereka penganut herd immunity, tapi orang-orang tua dijaga. Namun, di sisi lain, New Zealand ekonominya mati, Swedia ekonominya jalan, tapi angka kematiannya tinggi. Tergantung kita mau contoh yang mana,” jelas Dono.

Adapun terkait alokasi anggaran, Dono menyampaikan perspektifnya bahwa selama ini mayoritas anggaran kesehatan sebaiknya tak hanya dialokasikan pada anggaran kuratif saja.

"Namun juga harus fokus pada program preventif dan promotif," pungkasnya.