DPR Cantik Ini Ingatkan Pemerintah: Tolong Waspadai Munculnya Risiko 'Crowding Out'!

Oleh : Krishna Anindyo | Jumat, 04 September 2020 - 10:55 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Wabah pandemi Covid-19 telah memicu kontraksi ekonomi dunia, seiring kebijakan pembatasan mobilitas manusia secara ketat guna menekan angka penyebaran.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 5,32 persen (yoy) pada Kuartal II-2020.

Namun, pada periode yang sama, pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan Vietnam justru tumbuh positif, masing-masing 3,2 persen (yoy) dan 0,32 persen (yoy).

Hal tersebut tidak terlepas dari peran sektor perbankan dan keuangan dalam menopang ekonomi kedua negara tersebut.

Sebenarnya menurut Anggota Komisi I DPR RI Puteri Anetta Komarudin, kuartal I-2020 ekonomi Indonesia masih tumbuh positif sebesar 2,97 persen, tetapi pada kuartal selanjutnya, ekonomi terkontraksi cukup dalam di zona negatif, walaupun tidak sedalam negara lain yang bahkan mencapai minus 22,1 persen seperti di Spanyol.

Oleh karena itu, Ia meminta agar Pemerintah beserta otoritas terkait untuk mewaspadai risiko melambatnya laju investasi pada sektor swasta akibat terserapnya dana masyarakat ke Surat Berharga Negara (SBN), atau crowding out.

“Untuk itu, kita perlu terus fokus pada upaya pemulihan agar ekonomi dapat kembali di zona positif, seperti Tiongkok dan Vietnam. Terlebih, para pakar pun menyebut keberhasilan kedua negara ini turut ditopang peran intermediasi sektor keuangan dan perbankan sehingga terhindar dari risiko crowding out,” ujar Puteri melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi Industry.co.id, Jumat (4/9).

Menurutnya, di tengah kondisi pandemi, Pemerintah di seluruh dunia cenderung menempuh kebijakan fiskal yang ekspansif sebagai upaya penanganan wabah. Konsekuensinya, kebutuhan pembiayaan yang tinggi mendorong ditingkatkannya penerbitan surat berharga negara.

Dengan imbal hasil (yield) yang kompetitif dan tingkat risiko yang relatif aman, investor pun cenderung memilih SBN dibandingkan investasi pada sektor swasta.

Atas hal tersebut, Puteri mendorong dimaksimalkannya fungsi intermediasi perbankan untuk menyalurkan dana pihak ketiga ke sektor riil.

“Yang sekarang perlu didorong adalah fungsi intermediasi perbankan. Artinya, memastikan likuiditas dari perbankan betul-betul mengalir ke sektor riil sehingga terjadi permintaan kredit. Dimana data pada bulan Juli, laju pertumbuhan kredit sangat rendah yaitu hingga 1,53 persen, sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga sebesar 8,53 persen. Namun, di tengah kondisi ketidakpastian ini, perbankan tentu masih was-was, terlebih dihadapkan dengan risiko kredit macet. Hal inilah yang mungkin mendorong perbankan lebih memilih untuk menggunakan likuiditasnya dalam bentuk investasi SBN,” jelasnya.

Lebih lanjut, Puteri juga menyoroti tingkat imbal hasil (yield) surat berharga Indonesia untuk tenor 10 tahun yang masih cukup tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang berkisar di level 6,8 persen, per akhir Agustus lalu.

Dengan imbal hasil yang kompetitif ini turut memicu investor untuk memilih berinvestasi pada SBN, sehingga mengalihkan dana yang mengalir ke perbankan dan pasar keuangan.

Terlebih, kebutuhan pembiayaan APBN untuk penanganan Covid-19 melalui penerbitan SBN masih cukup tinggi hingga akhir tahun.

“Apabila kepemilikan SBN lebih banyak dikuasai investor domestik, tentu dapat meminimalisir risiko arus modal asing keluar atau capital outflows yang berakibat pada nilai tukar rupiah maupun imbal hasil SBN. Sementara, apabila mengandalkan pembiayaan dari SBN di pasar domestik, tentunya dihadapkan dengan risiko crowding out ini. Maka dari itu, pemerintah harus mewaspadai risiko-risiko tersebut dengan mendorong bauran kebijakan yang hati-hati dan akuntabel dalam pemenuhan pembiayaan anggaran tahun ini,” ungkapnya.

Puteri lagi-lagi mengingatkan Pemerintah agar pengalaman Tiongkok dan Vietnam dalam menjaga ketahanan ekonominya di tengah pandemi dapat menjadi pembelajaran dalam penanganan perekonomian dalam negeri.

Menurutnya, dukungan terhadap sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sudah diupayakan datang dari berbagai mekanisme, dari mulai restrukturisasi, subsidi dan ekspansi kredit, penempatan dana pemerintah di bank umum, penjaminan pinjaman, hingga stimulus tunai bagi UMKM.

“Tujuannya adalah meredam kekhawatiran dan menambah keyakinan perbankan agar terdorong untuk menyalurkan kredit. Artinya, kerangka untuk memastikan likuiditas di sektor riil sudah dibangun dan mulai dilaksanakan, tetapi mengapa permintaan kreditnya masih rendah? Inilah yang perlu kita evaluasi, apakah kelonggaran likuiditas dari Bank Indonesia bagi perbankan sudah maksimal terserap sektor riil dan swasta/padat karya,” tandasnya.