Ketua KADIN Rosan P Roeslani Sebut Kemampuan Beradaptasi Jadi Kunci Indonesia Keluar dari Resesi Ekonomi

Oleh : Hariyanto | Kamis, 02 Juli 2020 - 16:20 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Rosan P Roeslani mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi bakal minus 4% sampai 6% di kuartal kedua 2020. Proses stimulasi penanganan COVID-19 yang dinilai masih sangat lambat menjadi alasan minusnya pertumbuhan ekonomi.

Rosan menambahkan, lemahnya implementasi dari stimulus pemulihan ekonomi nasional juga akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga kembali kontraksi di level pertumbuhan negatif.

"Sehingga secara teknikal Indonesia sudah masuk kedalam fase resesi ekonomi," ujar Rosan lewat keteranganya yang dikutip INDUSTRY.co.id, Kamis (2/7/2020).

Meski demikian, Rosan mengatakan, pasca COVID-19 ini Indonesia seharusnya tidak hanya menyadari berbagai keterbatasan yang dimiliki, namun juga bagaimana bisa unggul dalam memajukan demokrasi dan ekonomi yang membawa kesejahteraan untuk masyarakat.

Oleh karena itu, lanjut Rosan, Indonesia tidak hanya butuh kekuatan, namun kapasitas adaptasi ataupun agilitas yang bisa dibuahkan dalam beberapa hal.

Pertama, kerangka pemulihan ekonomi tidak semata hanya untuk pemulihan daya beli namun juga pemeliharaan dan peningkatan daya produksi agar Indonesia bisa terus meningkatkan devisa untuk pembangunan demokrasi dan ekonomi yang inklusif ke depan. 

"Penyikapan pemerintah untuk meningkatan skala stimulus (untuk pemulihan ekonomi) dari 2.5% menuju 3.9% dari PDB akan mempengaruhi sejauh mana seluruh sektor bisa bangkit dan membukakan lapangan kerja, daya saing, dan devisa tambahan," ungkap Rosan.

Kedua, digitalisasi sebagai moda informasi, komunikasi, transportasi, dan transaksi yang menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.

Semakin Indonesia bisa merangkul paradigma digital (dengan peningkatan fokus terhadap STEM atau science, Technology, engineering, and mathematics) untuk kepentingan pendidikan dan khususnya peningkatan inklusi keuangan (dari 50% ke kisaran 80-90%), maka Indonesia bisa memastikan kapasitas adaptasi, dan kearifan dalam distribusi kesejahteraan untuk masyarakat.

Ketiga, kecenderungan pergeseran dari multilateralisme menuju bilateralisme akan menguntungkan siapapun yang memiliki daya saing tertinggi.

Satu-satunya cara memaksimalkan postur negosiasi kedepan di era yang lebih kental dengan bilateralisasi, menurut Rosan, adalah dengan meningkatkan daya saing atau produktifitas marjinal untuk segala barang dan jasa.

Peningkatan produktivitas marjinal, seperti yang terlihat di negara maju seperti Singapura, telah menghasilkan kapasitas adaptasi yang luar biasa di era yang diwarnai cukup banyak tekanan ataupun perubahan eksternal.

"Program kebijakan dan stimulus yang cepat dalam implementasi, tepat dalam sasaran dan besar terukur secara keseluruhan adalah hal yang sangat penting dari masa depan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini," pungkasnya.