Penyelamatan Industri Baja Nasional, Silmy Karim: Jangan Impor yang Bisa Dibuat, Mereka Importir Punya Seribu Macam Alasan

Oleh : Candra Mata | Selasa, 23 Juni 2020 - 17:37 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Direktur Utama PT Krakatau Steel (persero) Tbk (KRAS), Silmy Karim mengungkapkan bahwa proyeksi kebutuhan baja dalam negeri pada 2020 tumbuh terkoreksi akibat pandemi Covid-19. 

Namun, menurutnya jika dilihat dari pertumbuhan 2019 hingga 2025, seharusnya hal itu bisa dipenuhi oleh produsen domestik dan tidak oerlu berlebihan mengimpor. 

“Dan impornya juga harus lebih selektif, jangan yang impor hal-hal yang bisa dibuat di Indonesia,” kata Silmy Karim dalam program market review di IDX Selasa (23/6).

Silmy mengemukakan bahwa secara trend kebutuhan baja dalam negeri terus meningkat. Seperti di 2022, kebutuhan baja dalam negeri bisa mencapai 19 juta ton dan terus meningkat hingga 23,34 juta ton di tahun 2025. 

Meski demikian, pandemi Covid-19 memengaruhi over supply baja dipasar global, sehingga produsen baja mencari negara-negara yang nampaknya empuk untuk dapat dimasuki, salah satunya Indonesia.

“Sebenarnya, penurunan permintaan itu kan global. Dan Indonesia sendiri konsumsi perkapitanya masih rendah, jadi peluang di industri baja sangat besar. Bahkan kapasitas pabrik baja di Indonesia itu rata-rata hanya 50%. Artinya, kita punya idle capacity adalah 50%,” Jelasnya. 

Dengan menutup impor baja, Silmy berusaha untuk tetap mengoptimalkan kapasitas yang sudah terpasang. 

Silmy juga menegaskan kalau mereka para importir itu punya seribu alasan, makanya tinggal kita yang melihat bagaimana faktanya apakah impor tersebut betul-betul dibutuhkan.

Bagi Silmy, Krakatau Steel sudah melakukan banyak perubahan dan perbaikan dan perseroan masih memiliki cara untuk mengantisipasi untuk mengoptimalkan kapasitas baja.

“Untuk cara antisipasinya, kita sendiri dalam konteks asosiasi, terus kemudian Krakatau Steel selaku BUMN dan juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada pengambil kebijakan di kementerian perindustrian, kementerian perdagangan, dan pembinanya termasuk juga kepada Kementerian ESDM yang kaitannya dengan harga gas, terus kemudian ke instansi-intansi lain untuk memberikan competiveness daya saing kepada kepada industri baja nasional sehingga bisa berkompetisi dengan import,” ungkap Silmy.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, sebelumnya menurut Silmy pernah mengatakan mengapa akhirnya impor dilakukan, karena kapasitas produksi dan non fiksi yang disampaikan baru 50%. Sebetulnya untuk industri baja di dalam negeri mudah saja untuk memaksimalkan kapal produksi hingga 100%.

“50% itu artinya utilisasi, artinya kita punya kapasitas itu sudah cukup. Jadi bukan pabriknya tidak bisa supply demand. Pabriknya hanya terutilisasi 50%, misalnya kapasitas 10 juta ton tapi baru digunakan 5 juta. jadi bukan permintaannya 10 juta kapasitasnya 5 juta, tapi sebaliknya. Mungkin media salah tangkap terkait informasi tersebut,” pungkasnya.