Sisi Gelap Diskon

Oleh : Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto | Senin, 27 April 2020 - 16:14 WIB

INDUSTRY.co.id - Pada masa penuh ketidakpastian seperti saat ini, dimana hampir semua pelaku usaha mengalami penurunan penjualan dan omzet, maka pelaku usaha dihadapkan pada dua pilihan, yang idealnya harus dijalankan bersamaan, namun pada prakteknya tidak semudah itu. 

Jika keuntungan, secara sederhana merupakan fungsi dari pengurangan total pendapatan dikurangi total biaya, maka untuk meningkatkan keuntungan caranya adalah dengan meningkatkan pendapatan atau pengurangan biaya.

Pada situasi demikian, mengurangi biaya, adalah sulit. Jika pengurangan biaya yang dipilih, misalnya dengan mengurangi jumlah karyawan atau pemutusan hubungan kerja, maka akan menimbulkan efek yang lebih parah bagi kedua bilah pihak.

Untuk itu, seyogyanya yang dipilih adalah meningkatkan pendapatan. Salah satu strategi yang jamak dilakukan  dalam meningkatkan pendapatan adalah dengan meningkatkan penjualan melalui diskon. 

Tujuannya adalah untuk merangsang pembelian dan menarik konsumen untuk berbelanja. 

Namun, ternyata, menurut Zeelenberg dan Putten (2005), diskon ini dalam jangka pendek memang mampu meningkatkan penjualan dan omzet, namun untuk jangka panjang dapat membawa dampak yang buruk.

Sisi gelap diskon

Pertama, adalah konsumen yang tertarik untuk membeli produk diskon akan melakukan forward buying, yaitu membeli sesuatu yang sebetulnya tidak dibutuhkan, sehingga ketika di masa depan mereka memerlukan barang tersebut mereka tidak membeli lagi karena sudah membeli di saat periode diskon. 

Misalnya, saat ini menjelang lebaran, seseorang sedang jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan dan melihat ada baju yang diskon. 

Karena tertarik dengan diskonnya, orang tersebut memutuskan untuk membeli baju diskon itu. 

Akibatnya, ketika biasanya lebaran kurang satu minggu orang tersebut biasanya membeli baju, maka lebaran kali ini dia tidak membeli baju karena sudah dibeli jauh-jauh hari sebelumnya. 

Konsep inilah yang disebut dengan forward buying. 

Kedua, adalah stock pilling, yaitu konsumen akan membeli dalam jumlah banyak sebagai persediaan di rumah, akibatnya ketika harga sudah normal, yaitu periode diskon sudah selesai maka mereka tidak akan membeli produk tersebut. 

Sebagai contoh, jika berbelanja di supermarket dan katakanlah ada minyak goreng yang sedang diskon, maka konsumen akan membeli dalam jumlah besar untuk persediaan. 

Dengan demikian, selama beberapa minggu atau bulan ke depan, konsumen tersebut tidak akan melakukan pembelian lagi karena masih banyak persediaan di rumah. 

Ketiga, adalah akan terjadinya brand switching, atau perpindahan merek. Dalam penelitiannya, Zeelenberg membagi responden dalam dua kondisi, yaitu kondisi dimana separuh partisipan diberikan diskon besar (70% diskon) dan ketika diskon itu selesai, maka separuh partisipan tersebut akan beralih ke merek lain jika merek pertama tidak ada diskon.

Namun, kondisi ini tidak terjadi ketika diuji pada separuh partisipan lainnya, yang diberikan diskon kecil (20% diskon) dan ketika diskon itu selesai, mereka tidak beralih ke merek lain.

Bahkan ketika dalam eksperimen berikutnya, mereka memberikan opsi untuk menunda pembelian, tetap kecenderungan untuk pindah merek terjadi ketika produk pertama diberikan diskon besar dan kemudian diskon itu ditarik. 

Melihat hasil penelitian Zeelenberg & Putten di atas, maka pelaku usaha berhati-hati dalam memberikan diskon, terutama jika diskon itu besar, yaitu di atas 30%. 

Hal ini sebenarnya juga sudah dijelaskan oleh Daniel Kahneman, penerima nobel bidang ekonomi tahun 2002 yang telah menjelaskan fenomena ini, yaitu diskon atau penurunan harga akan menciptakan titik referensi, yaitu suatu kondisi acuan baru, dalam hal ini, harga turun akan menjadi acuan baru. 

Ketika harga tersebut dinaikkan, yaitu ketika diskon telah selesai, maka konsumen akan merasa mendapatkan kerugian karena harus membayar diatas titik referensi mereka, yaitu harga terakhir yang mereka bayarkan.

Lalu, pertanyaannya, kapan diskon, terutama diskon besar-besaran boleh dilakukan? Diskon besar-besaran tetap boleh dilakukan dalam kondisi tertentu, yaitu kondisi khusus dan sifatnya tidak sering. 

Misalnya, ulang tahun ke sepuluh perusahaan, atau cuci gudang yang benar-benar cuci gudang, atau dalam kondisi pandemi gara-gara covid 19 ini, diskon besar juga boleh diberikan jika tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat sekaligus meningkatkan penjualan.

Namun, jika diskon besar itu sering dilakukan dan menjadi sesuatu kebiasaan, maka jangan heran, ketika diskon itu selesai, maka akan terjadi penurunan penjualan dikarenakan tiga hal yang telah dijelaskan di atas.

Penulis adalah Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, Rektor President University