Permenhub No.32 Tahun 2016 Tidak Adaptif Dengan Perkembangan Teknologi

Oleh : Hariyanto | Senin, 03 April 2017 - 11:16 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.32 tahun 2016 (PM32/2016) tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraaan Bermotor Umum Tidak dalam trayek menuai kontroversi sejak kelahirannya pada bulan Maret tahun yang lalu.

Setelah melalui penundaan pelaksanaan dan perdebatan yang cukup alot, revisi PM32/2016 siap diberlakukan pada tanggal 1 April 2017.

Menurut Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia, Muslich Zainal Asikin, selama tahapan sosialisasi revisi PM32/2016 hingga saat ini, keberadaan peraturan tersebut tidak memberi jaminan kepastian hukum tapi malah membelenggu bisnis yang sifatnya disruptive ini.  

"Misalnya menempatkan pengemudi transportasi online menjadi karyawan atau pekerja padahal pada dasarnya bisnis ini berbasis sharing economy yang memberdayakan pengemudi sebagai pemilik-pengusaha," ujarnya melalui keterangan tertulis kepada INDUSTRY.co.id, Sabtu (1/4/2014)

Di sisi lain, menurut Muslich, langkah pemerintah yang terkesan ngotot dengan pemberlakuan beleid ini tidak adaptif terhadap perkembangan teknologi. Penggolongan bisnis jasa transportasi online ini dengan menyamakannya dengan bisnis taksi dan angkutan umum konvensional adalah sesuatu yang tidak tepat karena pada dasarnya pelaku bisnis  disruptive menggunakan platform sharing economy.

"Setidaknya, ada tiga poin  yang tidak memihak pada transportasi online, yaitu, batasan tarif atas dan bawah, pengaturan kuota yang diserahkan ke masing-masing pemerintahan daerah dan balik nama STNK dari individu ke badan atau perusahaan. Langkah ini kontra produktif dengan era industri  kreatif,” ungkap Muslich.

Kebijakan tersebut lanjut Muslich menjadi lonceng kematian industri kreatif di Indonesia, khususnya untuk transportasi online.  

“Ini tidak sejalan dengan semangat  program nawacita Presiden Jokowi yang mendorong terhadap kemandirian ekonomi kerakyatan dan industri kreatif,” tegas Muslich.

Muslich mengatakan, ketika harus ada biaya KIR, kewajiban balik nama STNK atas nama perusahaan atau koperasi, dan ketentuan batasan volume mesin kendaraan seperti taksi, dan keberadaan kepemilikan pool membuat pelaku bisnis transportasi online ‘dipaksa’ berkegiatan dengan regulasi yang lama sebagaimana yang telah dilakukan oleh pelaku usaha transportasi konvensional.