Said Didu Ungkap Langkah Menata Prioritas Kebijakan Atasi Krisis Fiskal, Begini Katanya...

Oleh : Candra Mata | Rabu, 25 Maret 2020 - 14:13 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Sekretaris Kementerian BUMN (2005-2010), M. Said Didu memgatakan sejak 2014 telah terjadi tekanan fiskal yang ditandai dengan makin besarnya defisit anggaran dari tahun ke tahun. 

Menurutnya, tekanan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah utang pemerintah yang pada akhir Januari 2020 sudah mencapai lebih dari Rp. 6.000 trilyun. 

"Naik 100 % dari utang pemerintah di tahun 2014 sekitar Rp 2.600 trilyun," ungkapnya, dilansir dari unggahan Facebok Said Didu Rabu (25/3).

Dalam postingan nya tersebut, Said mengemukakan, sejak terjadinya pandemi Corona awal 2020 di China dan masuk ke Indonesia awal Maret 2020. 

Telah menyebabkan rontoknya berbagai indikator ekonomi, seperti harga saham turun dari di atas 6.000 menjadi hanya sekitar 4.000, sementara nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah dari sekitar Rp14.000 menjadi sekitar Rp16.500. 

"Pertumbuhan ekonomi yg ditargetkan sekitar 5% diperkirakan hanya sekitar 2 % atau bahkan 0 %. Bahkan jika wabah corona berlanjut maka tidak tertutup kemungkinan pertumbuhan menjadi negatip," sebutnya. 

Said beralasan, tekanan fiskal tahun 2020 dipastikan akan menciptakan triple stress, yakni, pertama, rendahnya pemasukan, kedua, tingginya pengeluaran, dan ketiga, tingginya beban pembayaran utang.

"Kondisi demikian adalah kondisi krisis fiskal," ucapnya. 

Adapun, rendahnya pemasukan menurutnya, disebabkan antara lain, pertama, rendahnya pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan turunnya penerimaan pajak, bea dan cukai. 

Kedua, turunnya harga berbagai komoditas utama, seperti minyak bumi, batu bara, CPO, karet, dan berbagai hasil tambang, dan ketiga, turunnya konsumsi masyarakat.

"Naiknya pengeluaran, terutama akan besarnya biaya yg dibutuhkan untuk penanganan pandemi corona yang sebelumnya tidak dianggarkan dalam APBN 2020," terangnya. 

Sementara, turunnya konsumsi masyarakat disebabkan oleh berhentinya kegiatan ekonomi saat menghadapi pandemi corona yanga akan menyebabkan turunnya penerimaan pajak.

Selain itu, beban pembayaran utang yang memang jumlahnya sudah sangat besar akan semakin tinggi karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS serta beberapa mata uang asing lain.

Untuk itu, dirinya berpesan ke Pemerintah kebijakan fiskal dapat diarahkan untuk:  pertama, menyelamatkan nyawa manusia dan menghentikan bencana pendemi corona. 

"Kedua, menjaga agar roda ekonomi tetap berjalan, dab ketiga, menjaga daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin," lanjutnya. 

Menurutnya, saat ini tidak banyak pilihan instrumen untuk kebijakan fiskal.

Namun, atas dasar uraian tersebut, urutan prioritas kebijakan mengatasi krisis fiskal dapat dilakukan dengan cara merevisi APBN dan APBD untuk menyediakan anggaran yang cukup menangani pandemi corona.

"Lalu, menggelontorkan uang langsung ke masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai," ujarnya. 

Selain itu, mengendalikan atau menurunkan harga kebutuhan pokok masyarakat, termasuk penurunan tarif listrik dan harga BBM.

Selanjutnya memberikan fasilitas atau subsidi bunga terhadap utang perbankan masyarakat miskin. 

Lalu memberhentikan atau mengundur pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur dan proyek-proyek jangka panjang. 

"Termasuk pembangunan ibukota negara yang baru," sebutnya. 

Pemerintah dapat juga melakukan renegosiasi utang luar negeri untuk penurunan bunga dan jangka waktu pembayaran.

Dan memberlakukan monitoring dan pengendalian transaksi mata uang asing serta majibkan para eksportir untuk memasukkan hasil ekspor mereka langsung ke dalam negeri. 

"Dan berikan insentif kepada kegiatan usaha rakyat yang menghasilkan produk untuk kebutuhan pokok, produk ekspor dan substitusi impor serta monitor dan kendalikan impor produk-produk yang mematikan industri dalam negeri," pungkasnya.