Masyaallah, 7 Tahun Harga Gas Cekik Industri TPT

Oleh : Ridwan | Senin, 02 Maret 2020 - 08:15 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Meskipun sudah secara tegas kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 menyebutkan bahwa harga gas industri tidak lebih dari USD 6/MMBTU, namun hingga saat ini kontroversinya terus bergulir.

Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo menyampaikan kekesalannya dan memerintahkan penurunan harga gas untuk mendongkrak dayasaing industri, tapi sepertinya beberapa pihak yang menikmati keuntungan dari harga tingginya harga gas tidak sudi jika harga gas harus mengikuti peraturan tersebut.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa tingginya harga gas di sektor petrochemical hingga serat dan benang filament telah berperan penting dalam memperburuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam 7 tahun terakhir.

"2 (dua) bahan baku utama di industri tekstil yaitu serat polyester dan rayon menggunakan gas untuk proses produksi polimerisasi, dimana gas berperan 18% terhadap beban biaya produksi," ungkap Redma melalui keterangan resminya kepada Industry.co.id di Jakarta, Senin (2/3/2020).

"Harga kain kita lebih mahal 35% dibanding kain impor, 20% nya sebagai akibat tingginya harga gas," tambahnya.

Berdasarkan analisa hulu hilir yang dilakukan APSyFI, tingginya harga gas untuk industri yang rata-rata mencapai USD 9,8/MMBTU menyebabkan harga Purified Therepththalat Acid (PTA) lebih mahal 8%, harga serat lebih mahal 6%, harga benang lebih mahal 4% dan harga kain lebih mahal 2%.

"Agregatnya harga kain jadi lebih mahal 20% hanya karena faktor harga gas saja, kan efek domino bahan baku dari hulu ke hilir, rata-rata bahan baku sekitar 50%-55% beban biaya manufaktur," tegas Redma.

Naiknya harga gas dimulai ditahun 2012, dimana pemerintah mengkaitkan harga gas dengan harga minyak mentah sehingga harga gas naik dari USD 6/MMBTU menjadi diatas USD 9/MMBTU. Namun untuk tahun tahun selanjutnya ketika harga minyak mentah kembali turun, harga gas tidak ikut turun bahkan mengalami kenaikan.

"Jadi sudah 7 tahun harga gas ini cekik industri TPT hingga carut marut seperti ini, dan kita kan tidak punya pilihan lain selain pakai gas dalam negeri," ungkap Redma.

Mahalnya harga gas juga menjadi hambatan investasi disektor petrochemical khususnya PTA dan Mono Ethylele Glycol (MEG). Hingga saat ini tidak ada tambahan dan investasi baru di sektor bahan baku utama polyester tersebut.

"Sebelum harga gas dinaikan, sudah ada rencana investasi baru dari produsen PTA asal Inggris, mereka sudah melakukan studi, namun begitu harga gas naik tidak ada kelanjutannya. Apalagi MEG yang bahan baku utamanya adalah gas," tambahnya.

Untuk itu APSyFI mendukung pemerintah untuk menerapkan Perpres 40 tahun 2016 demi menaikan daya saing industri TPT secara keseluruhan.

"Jadi yang dihitung bukan hanya dampaknya bagi industri yang terkait langsung, tapi ada efek domino hingga kesektor hilirnya," ungkap Redma.

"Pemerintah pasti sudah menghitung dampaknya bagi ekonomi secara keseluruhan, pengaruhnya terhadap pertumbuhan industri, ekspor, substitusi impor, investasi baru, tenaga kerja hingga pendapatan pemerintah dari pajak," tutupnya.