Sebagian Besar Perusahaan Jepang Sebut Tingginya Upah Pekerja di Indonesia Tak Sebanding dengan Produktivitas

Oleh : Ridwan | Selasa, 11 Februari 2020 - 19:15 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Japan External Trade Organization (JETRO) resmi merilis hasil survei kondisi bisnis perusahaan Jepang di 20 negara atau wilayah termasuk Indonesia. 

Berdasarkan hasil survei tersebut ditemukan bahwa sebanyak 55,8 perusahaan Jepang menilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia tidak layak dengan upah minimum regional (UMR).

Sementara itu, perusahaan yang merasa gaji tenaga kerja Indonesia sesuai dengan produktivitasnya adalah sebesar 23,7 persen, dan sisanya tidak menjawab.

"Lebih dari 50 persen merasa upah dan produktivitas tenaga kerja Indonesia tidak layak dan sesuai. Ini nilai tertinggi dibanding negara lain," kata Direktur Senior Jetro Jakarta Wataru Ueno saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (11/2/2020).

Ditambahkan Wataru, nilai produktivitas di Indonesia adalah 74,4 atau di berada di urutan ketiga terendah di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu, nilai produktivitas di Filipina 86,3, Singapura 82,7, Thailand 80,1 dan Vietnam 80.

Sementara itu, Presiden Direktur Jetro Jakarta Keishi Suzuki menyebutkan risiko dalam iklim investasi di Indonesianyang tertinggi adalah lonjakan biaya tenaga kerja setiap tahunnya.

Disusul oleh sistem perpajakan yang dinilai rumit, manajemen kebijakan pemerintah daerah yang tak pasti dan infrastuktur yang belum berkembang.

"Jepang merupakan negara penyumbang FDI terbesar ketiga dengan nilai investasi mencapai 4,3 miliar dolar AS. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam peningkatan FDI yakni lonjakan biaya tenaga kerja, sistem perpajakan dan lainnya," kata dia.

Namun, Kesihi mengungkapkan, sebagian besar perusahaan Jepang mengharapkan perlunya kebijakan fasilitas perdagangan antara lain, informasi tentang sistem dan prosedur perdagangan, evaluasi klasifikasi tarif, dan izin impor.

"Penyederhanaan izin impor menjadi perhatian khusus bagi perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka menilai proses perizinan impor di Indonesia masih sangat rumit," tutupnya.