Ngeri! Industri Kaca Lembaran Nasional Jalan Ditempat, Mahalnya Harga Gas dan Serbuan Impor Jadi Biang Kerok

Oleh : Ridwan | Rabu, 08 Januari 2020 - 09:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Industri kaca lembaran nasional tengah mengalami pertumbuhan yang stagnan, dimana menurut Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan dalam 10 tahun terakhir ini penambahan kapasitas produksi hanya mencapai 5 persen.

"Dalam 10 tahun terkahir kapasitas produksi hanya mampu meningkat 5 persen saja, harusnya sudah 20 persen," kata Yustinus Gunawan kepada Industry.co.id di Jakarta (8/1/2020).

Dijelaskan Yustinus, rendahnya serapan kaca lembaran di pasar dalam negeri menjadi salah satu faktor yang membuat kapasitas produksi kaca dalam negeri stagnan. Selain itu, serbuan kaca impor khususnya dari China dan Malaysia juga semakin memperparah laju pertumbuhan industri kaca lembaran nasional. 

"Konsumsi kaca lembaran di dalam negeri terbilang masih sangat rendah yaitu sekitar 3,2kg/kapita/tahun. Seharusnya sudah 4-4,5kg/kapita/tahun, itupun belum mendekati negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand," jelas pria yang sering disapa Yus.

Saat ini, terang Yus, kebutuhan kaca lembaran domestik dipenuhi oleh produk impor khususnya dari China dan Malaysia. "Ini bahaya, produk kaca impor justru malah merebut pasar di dalam negeri dan membuat produk kaca nasional semakin tidak berdaya saing. Artinya, ini juga akan menghambat investasi kaca lembaran yang akan masuk ke Indonesia," katanya.

Yustinus menyebutkan kalahnya daya saing kaca lokal akibat mahalnya harga gas yang membuat produksi dalam negeri kalah dengan produk impor. "Daya saing kita memang terbelenggu karena hatrga gas yang sangat tinggi. Satu-satunya kunci untuk meningkatkan daya saing industri kaca nasional adalah harga gas bumi untuk industri yang lebih kompetitif. Jadi wajar jika Presiden Jokowi kesal, karena dia sudah dari 3,5 tahun yang lalu memberikan solusi tapi tidak dilaksanakan," papar Yustinus.

Oleh Karena itu, AKLP menyambut baik tiga opsi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo untuk menekan harga gas industri di Tanah Air. Menurut Yustinus, persoalan harga gas sangat menyulitkan pelaku usaha sehingga ususlan 3 (tiga) solusi dengan mengurangi jatah gas pemerintah sebesar USD 2,2/MMBTU, pemberlakuan DMO, dan impor gas industri sangat baik dan mudah direalisasikan.

"Ini merupakan bentuk tindak lanjut dari amanah Presiden tentang harga gas dalam hal ini sudah waktunya untuk melaksanakan Perpres 40/2016, jangan sampai kehilangan momentum lagi," ungkapnya.

"Gas bumi sebagai salah satu energi sudah seharusnya diutamakan untuk menggerakkan sektor produktif dan industri dapatkan harga sangat kompetitif untuk berdaya saing, baik untuk ekspor maupun menarik investasi masuk ke Tanah Air. It's now or never!," tutup Yustinus.