Ketika Semut Bermimpi Jadi Gajah

Oleh : Anab Afifi, CEO Bostonprice Asia | Jumat, 20 Desember 2019 - 10:42 WIB

INDUSTRY.co.id - Usianya masih belun genap 40 tahun. Penampilannya tenang. Kehidupannya sangatlah mapan. Jika diukur dengan kehidupan rata-rata manusia Indonesia seusianya.

Hari itu dia mengajak saya dan sahabat saya, Joko Intarto (JTO). Untuk bertemu di Ratu Plaza, Jakarta. Sambil menikmati steak  yang terkenal itu.

Sebutlah nama pangilannya Ben. Anak muda yang menjadi salah satu pimpinan grup perusahaan dengan 5000 karyawan. Meski demikian, ia tidak ingin telihat istimewa. 

Penampilannya sederhana. Rendah hati. Santun. Agamis pula.

Hari itu pun, ia hanya mengendarai Toyota Innova.

Apabila sudah ngobrol seperti ini, jangan coba-coba mengajak bicara tentang bisnis. Iebih suka berbicara apa saja. Tentang pengetahuan. Tentang buku. Atau hobi. 

Seperti kejadian pekan sebelumnya. Saya diundang ke rumahnya. Rupanya bukan saya saja yang diundang. Sudah ada beberapa kenalan yang datang. Termasuk JTO. 

Ketika kolega JTO itu memainkan piano tua di teras belakang rumah itu, Pak Ben nimbrung dengan gitar kesayangan. Mereka berkasi. Rupanya dia jago main gitar. Jari-jarinya lincah memainkan musik blues. 

Di teras itu, Pak Ben  bersemangat bicara tentang pemberdayaan masyarakat. Di desa-desa. Saat itu ia menggelontorkan dana ratusan juta untuk mendorong masyarakat berternak lele. 

Nah, seminggu kemudian, sambil makan steak, ia juga bercerita hal semacam itu. Ia baru pulang dari Afrika. 

"Rekreasi Pak?"

Ia hanya tersenyum. Rupanya selama sebulan ke Afrika itu, ia mengawal pengapalan beras berton-ton. Dia merasa harus turun mengawasi pengiriman bantuan ke masyarakat yang membutuhkan.

Bagi korporasi, kegiatan semacam itu jamaknya disebut sebagai salah satu program corporate social responsinility. Tanggung jawab sosial perusahaan.  

Pada moment demikian, kegiatan itu akan dikorankan. Minimal, dilaporkan dalam buku annual report mereka.

Tapi, Pak Ben melakukan amal perusahaannya itu secara sunyi. Menilik nama grup perusahaan keluarganya yang sudah lebih tua dari republik ini, pastilah peristiwa itu bisa jadi santapan berita koran. 

Bagaimana pun saya tidak tahan juga untuk menanyakan hal ini. Yang sudah saya pendam dan siapkan sejak ngopi sebelumnya di rumahnya itu.

"Pak Ben, mungkinkah si kecil UKM itu bisa naik kelas menjadi perusahaan korporasi seperti Bapak ini?"

Dia menjawab hati-hati sekali. Dia bilang berat. Untuk tidak mengatakan tidak mungkib. Menurutnya, iklim di Indonesia tidak mendukung. 

Hari-hari ini semarak sekali semangat UKM ingin naik kelas. Mereka berbicara scale up. Dari angka penjualan 5 milyar ke bawah menjadi puluhan milyar. Dari ratusan M  hingga  T.

Mereka berbicara di seminar-seminar. Di kedai-kedai. Sampai dibawa mimpi.

Selama 50 tahun terakhir ini, si semut kecil ini, sepertinya telah "dikunci takdirnya". Takdir untuk tetap kecil. Seolah tidak boleh besar. 

Belum ada skema atau formula, yang benar-benar manjur untuk menaikkan UKM ke level korporasi. 

Jika boleh bicara kritis: apakah tolak ukur keberhasilan program pemerintah di bidang ini? 

Sudahkah mampu mendorong mereka naik kelas?

Bukan kebetulan jika hari ini bermunculan 'komunitas semut' yang ingin menulis takdir baru. Dibalut mimpi-mimpi. Dibebat oleh darah-darah kekalahan. 

Mereka pun bermimpi jadi gajah. 

Beberapa dari mereka benar-benar menjadi gajah. Lalu menularkan mimpi dan keberhasilan itu kepada sekumpulan semut. 

Faktanya, jauh lebih banyak yang hanya berhasil memasuki  dimensi baru: mimpi dan halusinasi.

Semut dan gajah telah menempati posisi dan peran sesuai takdir masing-masing. Tidak akan pernah melompat ke kandang yang bukan habitatnya. 

Semut tetaplah semut. Dan gajah adalah gajah. 

Lalu, siapakah Anda?

Penulis: Anab Afifi, CEO Bostonprice Asia