Mileneal Bergaji 50 Juta Perbulan Keahliannya Apa Sih?

Oleh : Anab Afifi, CEO Bostonprice Asia | Selasa, 26 November 2019 - 18:50 WIB

INDUSTRY.co.id - Mereka begitu muda. Rata-rata berusia 23 tahun. Entah keahlian apa yang dimiliki sehingga begitu sangat diapresiasi.

Yang jelas mereka berhasil  meraih pekerjaan impian kaum milenial saat ini: tak perlu ngantor tiap hari tetapi bergaji tinggi. 

Tak tanggung-tanggung besarannya: 51 juta rupiah per bulan!

Mereka adalah para staf Presiden RI.

Penghasilan yang boleh jadi bikin ngiri. Apalagi di tengah situasi yang katanya sudah di bibir resesi saat ini.

Awal bulan lalu seorang perempuan muda, pintar, dan ehem... cantik tentunya, menghubungi saya via WA. Ia sudah tidak milenial lagi.

"Aku lagi sedih Om..", ujarnya.

Saya mengira itu menyangkut kehidupan pribadinya. Ternyata saya keliru.

Apa yang ia sedihkan itu ternyata, menyangkut pekerjaannya di kantor. Ia merasa karirnya mentok. Padahal, ia telah begitu berdedikasi dan memberikan kinerja terbaik.

Jabatan yang konon dijanjikan oleh Direksi kepadanya tidak kunjung tiba. Ia malah disalib oleh orang baru yang, menurutnya, tidak ada track record-nya. Satu-satunya pembeda adalah: saingannya itu masih kerabat direksi.

Lalu ia bilang ingin pindah kerja saja. Ingin bisa memperoleh posisi dan gaji lebih dari sekarang.

"Memangnya... kamu ingin gaji berapa?"

"Lima puluh juta Om!"

"Oke. Kalau aku gaji kamu 50 juta per bulan, kamu bisa kasih apa buat perusahaan saya?" 

Dia hanya terdiam. Itu pertanda ia memang belum memiliki kemampuan di level manajerial sebagaimana diuntut di kantornya itu.

Percakapan pun terhenti. Saya tutup dengan kalimat sedikit mengancam. (baca: memotivasi).

"Saat ini, perusahaan-perusahaan besar sedang memutar otak bagaimana caranya agar bisa efisien. Tidak sedikit yang mengurangi karyawan.

Kalau pun ingin mencari karyawan dari luar untuk posisi yang kamu incar itu, pastilah dia harus istimewa. Perusahaan akan lebih mengutamakan kader dari dalam. Entah dari anak perusahaan atau afiliasinya.

Jadi, nikmati dan syukuri aja apa yang ada sekarang."

Saat ini kita memasuki dunia yang berbeda. Sebuah era di mana talenta diperhitungkan. Pasar tidak lagi melihat usia, gender, serta latar belakang pendidikan.

Bahkan, perusahaan besar macam Apple dsn Google, tidak lagi melihat ijazah untuk calon karyawannya. Tetapi, si calon karyawan itu bisa apa.

Kalau saat ini umurmu sudah kepala empat, namun (maaf), tidak tahu talentamu apa, berarti Anda seperti terlahir di abad pertengahan. 

Tiga tahun lalu, saya bertemu dengan anak muda. Milenial tentunya. Ia bisa bekerja di mana saja. Tidak mau terikat. Apalagi  harus ngantor tiap hari. Ia seorang desainer grafis.

Namun, penghasilan dia setahun bisa mendekati semilyar rupiah. Jika dirata-rata, per bulan, paling sedikit ya 50 jutaan rupiah. Jumlah yang diimpikan oleh manajer perempuan sahabat saya itu.

Dan dewasa ini, banyak milenial seperti itu. Juga tebuka luas profesi yang memungkinkan hal semacam itu dijalani.

Jadi, ramai berita para milenial yang bergaji 51 juta per bulan seperti yang terjadi di kantor kepresidenan itu, sebenarnya tidaklah mengherankan. 

Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah: talenta apa yang mereka miliki sehingga begitu pentingnya seorang presiden harus membutuhkan jasa mereka. 

Tetapi, pertanyaan itu pun menjadi tidak penting. Karena terserah yang membayar, terlepas soal pantas dan tidak pantasnya.

Jika sudah begini, tiba-tiba seperti ingin kembali lagi ke usia remaja. Menemukan kembali talenta diri semenjak muda usia. 

Jika itu mau sekolah, ya carilah sekolah yang memberikan ruang leluasa bagi talenta. 

Jika mencari guru, ya temukan guru yang mampu mendorong kuat dan membantu mengasah talenta. 

Jika ingin bergaul, ya bergaullah dengan komunitas sesuai minat dan talenta yang diasah penuh kesadaran. 

Jika berteman, perbanyaklah teman yang bisa menjadikan talenta Anda lebih berdaya.

Dan seterusnya.

Itulah bekal pendidikan  yang harus Anda siapkan untuk anak, adik, ponakan, saudara, dan kerabat Anda semua. 

Penulis adalah Anab Afifi CEO Boston Price