SNI Wajib Jadi "Tameng" Industri Nasional dari Gempuran Impor

Oleh : Ridwan | Selasa, 22 Oktober 2019 - 11:45 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pemerintah bakal menerapkan kebijakan non-tarif atau Non-Tariff Measures (NTM) agar dapat memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap investasi di dalam negeri. 

Kebijakan regulasi teknis berbasis standardisasi ini juga diimplementasi negara-negara lain, yang diperbolehkan melalui perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade/TBT) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

"Banyak negara di dunia yang memanfaatkan standar, regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian sebagai instrumen untuk mengamankan industri dalam negerinya dari serangan produk-produk impor yang tidak berkualitas," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara di Jakarta dalam acara Forum Standardisasi Industri, Selasa (22/10).

Dijelaskan Ngakan, pada tahun 1994, Indonesia secara resmi meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the WTO. Artinya, Indonesia harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk mampu menghadapi sebuah era globalisasi dengan suasana persaingan perdagangan yang semakin ketat. 

"Hal tersebut juga menimbulkan konsekuensi bahwa segala bentuk hambatan perdagangan khususnya hambatan tarif secara bertahap harus diturunkan," ungkapnya.

Menurutnya, instrumen yang umumnya dilakukan di Indonesia adalah melalui pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib, yang fokus utamanya untuk produk-produk yang berkaitan dengan Keamanan, Kesehatan, Keselamatan manusia dan Lingkungan (K3L).

"SNI melindungi dari segi teknis, melindungi konsumen kita, kemudian lingkungan kita, terus keamanan pengguna. Misalnya penggunaan saklar listrik, kalau tidak ada SNI kan bahaya, bisa meledak," kata Ngakan di Jakarta, Selasa.

Terkait fungsi SNI sebagai pembatas beredarnya barang impor, Ngakan menyampaikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Mengingat, barang impor tersebut tetap dapat beredar di Indonesia apabila memenuhi ketentuan yang terkandung dalam SNI.

"Saya kira tidak selamanya, kalau dia memenuhi persyaratan, dia bisa masuk," ujar  Ngakan.

Di sisi lain, tambah Ngakan, pemenuhan terhadap persyaratan SNI yang telah diwajibkan, juga dapat mencegah masuknya barang-barang yang berkualitas rendah. 

"Hingga semester pertama tahun 2019, dari total 4.984 SNI di bidang industri, sebanyak 113 SNI di antaranya ditetapkan sebagai SNI wajib," sebut Ngakan.

Pembuktian kesesuaian mutu produk dalam kerangka penerapan SNI wajib dilakukan melalui penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan Laboratorium Penguji. 

Sampai saat ini, menurut data dari Pusat Standardisasi Industri Kemenperin, BPPI terdapat 51 LSPro dan 87 Laboratorium Uji. 

"Kemenperin terus meningkatkan kemampuan LPK khususnya lab pengujian agar dapat memenuhi kebutuhan terhadap penerapan SNI itu sendiri," ujar Ngakan.