Diperlukan Kolaborasi Untuk Pemanfaatan Fintech Dalam Mencapai SDGs

Oleh : Hariyanto | Kamis, 17 Oktober 2019 - 21:39 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Dunia tengah menyoroti pemanfaatan teknologi keuangan (financial technology / fintech), yang optimal, dapat menjadi pendorong kuat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs).

“Berbicara tentang fintech untuk pencapaian SDGs berarti berbicara tentang dampak sosial. Akses terhadap layanan keuangan bagi masyarakat masih terbilang rendah, sehingga kehadiran fintech sangat berperan untuk menjadi solusi terhadap akses keuangan, termasuk akses untuk pembiayaan dan permodalan," kata Alvin Taulu, Kepala Perizinan dan Pengawasan Fintech Direktorat Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Saat ini, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar teknologi keuangan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dibutuhkan kolaborasi dan sinergi yang lebih baik antara pemerintah, sektor swasta, serta pelaku keuangan lainnya, dalam memanfaatkan teknologi keuangan sebagai solusi tantangan pembangunan, jika dunia ingin mencapai SDGs pada tahun 2030 kelak.

"Selain akses terhadap layanan keuangan, dibutuhkan edukasi secara menyeluruh kepada masyarakat agar tingkat literasi dan inklusi keuangan terus meningkat. OJK terus mengawal perkembangan industri fintech, salah satunya dengan mengajak BPR dan BPD untuk berkolaborasi dengan pelaku usaha fintech. Hal ini bertujuan untuk memperluas jangkauan akses layanan keuangan kepada masyarakat di daerah," tambahnya.

"Kami optimis bahwa industri fintech di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk terus bertumbuh, karena adanya kebutuhan pendanaan sekitar Rp 1.000 triliun yang belum terlayani. Di sinilah fintech hadir untuk mengisi kesenjangan kebutuhan tersebut," kata Sunu Widyatmoko, Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Fintech saat ini merupakan salah satu dari dua sektor yang paling banyak mendapat pendanaan (selain e-commerce), dan merupakan sektor yang berkembang paling cepat dalam beberapa tahun terakhir. Fintech menawarkan berbagai jenis jasa keuangan, antara lain peer-to-peer (p2p) lending (pinjaman online), crowdfunding, payment gateway, manajemen investasi dan asuransi.

“Salah satu inovasi yang dilakukan AwanTunai adalah dengan pemberian pinjaman produktif bagi para pelaku UMKM. Pendanaan disalurkan dalam bentuk pinjaman untuk kinerja bisnis, yang disalurkan langsung ke para supplier. Fintech berperan sebagai rekan bank, bukan kompetitor bank, karena sumber pendanaan didapat dari bank.” ungkap Dino Setiawan, CEO AwanTunai.

Layanan P2P lending dan sistem pembayaran merupakan layanan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Menurut data OJK per bulan Januari 2019, jumlah penyaluran pinjaman fintech mencapai Rp 25,92 triliun, atau naik sebesar 14,36% dari awal tahun 2018 yang tercatat senilai Rp 22,67 triliun. Angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan kesenjangan pendanaan di Indonesia yang sebesar Rp 989 triliun pertahunnya (data OJK tahun 2016). Ini berarti terdapat kesenjangan kebutuhan pendanaan sebesar Rp 1.649 triliun.

“Industri fintech menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat dan bisa dilihat dari peningkatan jumlah anggota dalam Asosiasi setiap tahunnya. Per tahun ini, jumlah anggota dalam AFTECH telah mencapai 276 start-up fintech dan 24 institusi keuangan. Asosiasi terus melakukan edukasi secara rutin kepada masyarakat umum, salah satunya dengan merilis buku panduan Handbook for Fintech Solution dalam dua versi, yaitu untuk keuangan individual dan untuk UMKM.” kata Mercy Simorangkir, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH).

Industri fintech di Indonesia mempunyai potensi besar untuk berkembang. Mengingat tingginya kebutuhan pendanaan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat, harapan akan akses terhadap layanan keuangan oleh beragam segmen masyarakat yang belum sepenuhnya dapat dijawab oleh sektor perbankan konvensional.