Pengamat UI: Soal BPJS Kesehatan, Pemerintah Perlu Memikirkan Alternatif Pendanaan di Luar Iuran

Oleh : Kormen Barus | Jumat, 13 September 2019 - 07:34 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta- Pengamat Jaminan Sosial yang juga Kepala Kajian Kebijakan Sosial LM FEB Universitas Indonesia, Ferdinandus S. Nggao, mengatakan, Kebijakan kenaikan iuran yang dilakukan pemerintah untuk golongan menengah ke bawah cukup memberatkan.

“Defisit BPJS Kesehatan memang harus diatasi untuk menjaga keberlanjutan program. Namun, menutup defisit hanya dengan mengandalkan iuran juga kurang bijak,” ujarnya di Salemba Jakarta,  Kamis Malam (12/9/2019).

Menurut Ferdinandus, kita harus memahami iuran JKN dalam kacamata jaminan sosial. Iuran tidak semata2 ditentukan berdasarkan perhitungan aktuaria, tetapi juga kemampuan masyarakat. Iuran JKN sebaiknya dibedakan dengan perhitungan premi asuransi kesehatan komersial. Artinya, penentuan iuran harus mempertimbangkan keseimbangan antara mengatasi defisit dan cakupan peserta. Sesuai amanat UUD 1945, JKN dirancang untuk mencakup seluruh rakyat, universal health coverage (UHC). 

“Kalau iuran JKN diperlakukan seperti premi asuransi komersial, apa bedanya asuransi komersial dengan asuransi sosial. Dengan skema kenaikan baru, iuran tertinggi untuk  pekerja penerima upah sudah mencapai Rp 600.000 per bulan. Ini sudah hampir sama dengan asuransi komersial,”ujarnya.

Karena itu, saran Ferdinandus, pemerintah perlu mencari sumber dana lain di luar iuran. Selama ini pemerintah sudah berhasil menutup defisit BPJSK dari APBN. Ini tentu juga akan memberatkan APBN. Sebetulnya, ada sumber pendanaan lain uang berpeluang untuk digali. Sehingga pendanaan JKN tidak hanya mengandalkan iuran. Potensi yang bisa digali antara lain pungutan tambahan dari rokok dan munuman keras.

Untuk rokok, misalnya, kata dia, pungutan tambahan ini bisa dengan menaikkan cukai rokok. Kedua produk ini berkontribusi pada gangguan kesehatan. Kita bisa belajar dari Filipina dan Thailand yang sudah menerapkan ini. Di Filipina pungutan ini disebut dengan sin tax atau pajak dosa. Artinya, karena rokok dan minuman keras menyebabkan penyakit, maka pajak ini dilihat sebagai tebusan dosa. Hal ini juga bisa sejalan dengan upaya untuk mengurangi konsumsi rokok dan miras. Dengan adanya pungutan tambahan ini tentu harga roko dan miras akan meningkat. Peningkatan ini diharapkan bisa, minimal, mengurangi konsumsi. Syukur kalau jumlah perokok bisa berkurang.

Pusat Kajian Jaminan Sosial UI (PKJS-UI) pernah melakukan penelitian tentang ini. Hasilnya, dari1.000 responden yang diteliti, 88% masyarakat mendukung harga rokok naik dan 80,45% responden perokok setuju jika harga roko naik. 

“Alternatif ini sebetulnya sudah cukup lama disampaikan beberapa pihak. Sekarang tinggal kemauan dan keberanian pemerimtah untuk menerapkannya,”ujar Ferdinandus.