Perlunya Mendorong Alternatif Pembiayaan Saat Pasar Masih Diliputi Ketidakpastian Global

Oleh : Herry Barus | Rabu, 11 September 2019 - 07:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta – Ketidakpastian global yang masih berkepanjangan akibat memanasnya tensi perang dagang antara US dan Cina serta dimulainya era suku bunga rendah, telah menyebabkan volatilitas dan tekanan di pasar keuangan global meningkat termasuk Indonesia, yang membuat investor semakin berhati-hati dalam mencari pendanaan dari pasar keuangan baik melalui penerbitan saham maupun emisi obligasi.

 Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) memperlihatkan memasuki awal September, PT Kencana Energi Lestari menjadi perusahaan ke-33, yang mencatatkan saham perdana di bursa saham Indonesia. Perusahaan berkode saham KEEN ini, resmi mencatatkan saham perdana melalui initial public offering (IPO) dengan melepas 733 juta saham seharga Rp 396 per lembar saham, sehingga total perolehan dana mencapai Rp 290 miiar.

 Diikuti dengan pencatatan obligasi berkelanjutan Indonesia Eximbank IV sebesar Rp 1, 018 triliun dan sukuk Mudharabah berkelanjutan Indonesia Eximbank I 2019, sebesar Rp 150 miliar, yang diterbitkan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Sehingga total emisi obligasi dan sukuk yang sudah tercatat hingga awal September 2019, mencapai 73 emisi dari 41 emiten dengan total nilai emisi mencapai Rp 86,1 triliun.

 ‘’Saat trend suku bunga turun, biasanya pasar saham menjadi semakin menarik, namun hal itu belum maksimal terjadi di pasar keuangan domestik karena investor masih khawatir terhadap volatilitas yang ada, yang lebih banyak diakibatkan oleh faktor eksternal,’’ papar Direktur Utama PT Bahana Sekuritas Feb Sumandar. Beberapa emiten yang tadinya berencana menerbitkan saham ataupun obligasi masih menahan diri karena khawatir bila nanti diterbitkan, tidak mampu diserap oleh pasar, lanjut Feb.

 Bila dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu, hingga akhir September 2018, ada sebanyak 37 perusahaan yang mencatatkan saham perdana di BEI. Sedangkan total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat mencapai 63 emisi dari 41 perusahaan dengan total nilai sebesar Rp 77,71 triliun. Tahun lalu, bank sentral melakukan pengetatan moneter secara bertahap demi menjaga defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman. 

 Sejak Mei 2018, BI secara bertahap menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day reserve repo rate (RRR) dari 4,25%, menjadi 6%, yang bertahan hingga Juni 2019. Sejak Juli, BI mulai mengambil langkah pelonggaran moneter dengan memotong BI 7-day RRR masing-masing sebesar 25 basis points (bps) selama dua bulan berturut-turun menjadi 5,5%, demi mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

 ‘’Dalam kondisi ini, sangat diperlukan adanya instrument pembiayaan alternatif yang membuat investor yakin untuk berinvestasi, sehingga pada akhirnya diserap oleh pasar meski kondisi pasar keuangan sedang diliputi volatitlitas tapi tidak akan terkena dampaknya,’’ ujar Feb. Sepertinya misalnya menerbitkan reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) ataupun kontrak investasi kolektif efek beragun asset (KIK EBA).

 Pada minggu lalu (5/9/2019), Bukopin mencatat kontrak investasi kolektif efek beragun asset (KIK EBA) Bahana Bukopin Kumpulan Tagihan Kredit Pensiunan yang Dialihkan Kelas A1, dengan nilai emisi mencapai Rp 480.400.000, dengan tingkat bunga sebesar 9,25%.