Pengamat UI: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Perlu Dipertimbangkan Kembali

Oleh : Kormen Barus | Sabtu, 31 Agustus 2019 - 18:31 WIB

INDUSTRY.co.id,  Jakarta-Pengamat Jaminan Sosial yang juga Kepala Kajian Kebijakan Sosial LM FEB Universitas Indonesia, Ferdinandus S. Nggao, mengatakan, kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus diikuti kenaikan pelayanan.

"Selama ini masih banyak keluhan adanya penerapan kuota di RS dalam melayani pasien JKN. “Ini yang membuat kasus pelayanan kesehatan peserta terhambat. Peserta JKN diperlakukan seperti warga kelas dua di RS,”ujarnya ketika dihubungi redaksi industry.co.id, Sabtu Sore (31/8/2019).

Menurut Ferdi, soal pemerintah yang berencana menaikan iuran BPJS Kesehatan (BPJSK) dengan tingkat kenaikan bervariasi, sejauh ini banyak mendapat kritikan dari masyarakat. Kenaikan yang paling banyak disoroti sebetulnya, kata Ferdi,  adalah bagi peserta mandiri yang diklasifikasi dalam tiga kelas (Kelas 1-3).

“Hal ini bisa dipahami karena, peserta ini membayar iuran dari kantongnya sendiri. Artinya,  kenaikan iuran menjadi beban langsung yang harus dipikul sendiri,”ujarnya.

Sementara para pekerja, lanjut Ferdi,  mereka membagi beban pembayaran iurannya dengan pemberi kerja. Bahkan dalam ketentuannya, beban pemberi kerja lebih besar.

“Ya sebagaimana diketahui, iuran pekerja ditentukan dengan perhitungan 5% dari gaji. Untuk pekerja badan usaha, 4% ditanggung perusahaan dan 1% ditanggung pekerja. Untuk pekerja di lembaga pemerintah, 3% ditanggung pemerintah dan 2% ditanggung pegawai yang bersangkutan,” papar Ferdi.

Karena itu, kelompok peserta yang harus dilindungi, papar Ferdi, adalah peserta mandri kelas 3, karena umumnya mereka ini berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ini juga sebagai perwujudan dari misi penyelenggaraan jaminan sosial. Target penyelenggaraan jaminan sosial adalah melindungi masyarakat yang tidak mampu. Karena itulah jaminan sosial diselenggarakan dengan prinsip gotong royong.

“Orang yang mampu membantu yang tidak atau kurang mampu. Orang yang mampu bisa melindungi dirinya dengan asuransi komersial,”ujarnya.

Ferdi mengacu pada data bahwa, tingkat kolektabilitas peserta mandiri baru mencapai 53,72%. Masih cukup banyak peserta yang menunggak. Untuk itu, perlu ditelusuri, berapa persen peserta kelas 3 ini yang menunggak. Apakah peserta kelas 3 ini semuanya berasal dari golongan tidak mampu. Apakah ada peserta kelas 3 yang pura-pura tidak mampu. Kemudian, mengapa mereka menunggak. Berdasarkan itu, akan ditentukan bagaimana melindungi peserta kelas tersebut.

Hal lain yang perlu diketahui dari kebijakan kenaikan iuran saat ini, menurut Ferdi, adalah,  kenaikan ini tidak berlaku bagi semua peserta. Kelompok peserta yang tidak terkena kenaikan adalah pekerja yang gajinya Rp 8 juta ke bawah. Ini karena yang naik dari pekerja adalah basis gaji yang menjadi perhitungan,bukan persentase pemotongannya. Dalam tarif yang lama, batas atas gaji yang dihitung adalah Rp 8 juta. Artinya, pegawai yang gajinya di atas itu, tetap dihitung dari angka Rp 8 juta. Dalam kebijakan tarif yang baru, batas atasnya yang dinaikkan menjadi Rp 12 juta. Sehingga, yang berpengaruh adalah pegawai yang gajinya di atas Rp 8 juta. Pegawai yang gajinya sampai Rp 8 juta masih tetap seperti semula.

“Ya, beban terbesar kenaikan iuran ini tetap pada pemerintah, karena 60% peserta BPJSK berasal dari peserta yang iurannya ditanggung atau berasal dari kas Negara,”ujarnya.