PGN "Ancam" Daya Saing Industri Nasional!

Oleh : Ridwan | Rabu, 28 Agustus 2019 - 07:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Gejolak penolakan rencana kenaikan harga gas bumi untuk industri oleh PT. Perusahaan Gas Negara [PGN] Tbk, terus digencarkan oleh sejumlah asosiasi dan pelaku industri. Pasalnya, kenaikkan harga gas dinilai mematikan daya saing industri nasional. 

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia [Asaki], Edy Suyanto mengatakan, pihaknya menolak rencana kenaikkan harga gas bumi untuk industri, karena akan berakibat peningkatan beban perusahaan, dimana biaya gas merupakan 30% dari total biaya produksi, sehingga bisa menurunkan daya saing dan mengancam keberlangsungan industri.

"Kami [Asaki] sudah menyampaikan alasan keberatan dan penolakan terkait kenaikkan harga gas oleh PGN," kata Edy di Jakarta (27/8).

Menurutnya, industri keramik sangat sensitif sekali dengan biaya energi [Gas]. Pasalnya, lanjut Edy, energi [Gas] itu 30-35% dari total biaya produksi. "Artinya, daya saing industri keramik sangat bergantung terhadap harga gas. Dengan harga gas yang saat ini saja, kita [industri keramik] sudah kehilangan daya saing, sehingga dengan gampangnya produk impor dari China, India, dan Vietnam masuk ke Indonesia," terangnya.

Dijelaskan Edy, pihaknya memiliki keyakinan bahwa PGN akan mempertimbangkan kembali dan bahkan berjanji untuk menunda rencana kenaikkan harga gas untuk industri. "Kami juga tetap menagih janji pemerintah yaitu Perpres Nomor 40 Tahun 2016, dimana pemerintah memberikan janji harga gas sebesar USD 6 per MMBtu untuk 7 sektor industri, salah satunya keramik. Bahkan, dibunyikan dalam Perpres bahwa berlaku surut sejak Januari 2016 yang notaben-nya sampai saat ini sudah 3,5 tahun belum dirasakan manfaatnya oleh industri," papar Edy.

Edy mengaku sudah beberapa kali pihaknya diundang untuk ikut rapat bareng dengan Kementerian ESDM dalam mencari formula baru agar bisa memberikan harga gas untuk industri yang lebih berdaya saing, sehingga muncullah Peraturan Menteri [Permen] ESDM Nomor 58 Tahun 2017, dimana dalam Permen tersebut diatur harga gas untuk industri adalah harga gas bumi ditambah dengan biaya niaga maksimal 7% kemudian ditambah dengan biaya IRR maksimal 11% yang tujuan akhirnya bisa menurunkan harga gas untuk industri.

"Nah, Permen ini berlaku 18 bulan setelah akhir tahun 2017. Artinya, di Juli 2019 harusnya sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh industri. Oleh karena itu, kami [Asaki] tetap berpegang pada dua kebijakan pemerintah yaitu Perpres No.40/2016 dan Permen ESDM No.58/2017 yang kami tagih terus kepada pemerintah bahwa industri tidak bisa berdaya saing kalau tidak didukung oleh pemerintah," tegas Edy.

Ditempat terpisah, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman [AKLP] Yustinus Gunawan mendesak PGN membatalkan wacana kenaikkan harga gas bumi untuk industri karena kontra produktif. 

"Kenaikkan harga gas akan menimbulkan gejolak yang bertentangan dengan tekad pemerintah menyerap tenaga kerja dan mendorong ekspor. Kalau industri kontraksi dengan pengurangan tenaga kerja, bagaimana dengan upaya memanfaatkan bonus demografi yang kesempatannya hanya seklai," kata Yustinus.

Lebih lanjut, Yustinus menjelaskan, PGN sebagai BUMN yang terbuka dengan saham pemerintah mencapai 60% seharusnya membela kepentingan negara, bukan membela pemegang saham yang hanya 40%.

Disisi lain, Wakil Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kamar Dagang dan Industri [Kadin] Indonesia, Achmad Widjaja menilai industri masih belum siap menghadapi isu kenaikkan harga gas bumi oleh PGN.

"Hingga saat ini, pelaku usaha juga masih menanti realisasi dari insentif pemerintah atas Perpres Nomor 40 Tahun 2016 yang masih belum dinikmati olehpelaku industri," kata Achmad Widjaja.

Menurutnya, belum ada unsur urgensi kenaikkan harga gas bumi untuk industri oleh PGN. "Posisi PGN baru merger dengan Pertagas Niaga, harusnya kondisi-kondisi yang super lengkap ini tidak segitu urgent untuk menaikkan harga gas, karena nantinya beban akan dilimpahkan ke industri, dan industri belum siap," terangnya.

Sebelumnya, Direktur Komersial PGN, Danny Praditya mengungkapkan, sudah tujuh tahun PGN tidak pernah melakukan penyesuaian harga jual gas ke industri. Padahal dari komponen Harga Pokok Penjualan [HPP] gas yaitu, Cost of Good Solds [COGS] memang ada perubahan.

Diakuai Danny, pihaknya akan mensosialisasikan kepada industri, dan juga memberikan upaya-upaya khusus demi meningkatkan keandalan, salah satu upayanya dengan memberikan penawaran atau alternatif lain yakni menggunakan LNG [Liquid Natural Gas].