Industri TPT Menderita karena Kebijakan Pro Importir

Oleh : Herry Barus | Selasa, 06 Agustus 2019 - 15:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakata-Kebijakan perdagangan yang dinilai lebih pro kepada importir pedagang dituding sebagai biang keladi defisit neraca perdagangan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa tahun 2018 merupakan kinerja perdagangan terburuk di era pemerintahan Presiden Jokowi. “Dan sepertinya akan terus berlanjut di tahun 2019, karena pertumbuhan neracanya masih negatif” tegasnya. Selasa (6/8/2019)

 Lebih lanut Redma menjelaskan, meskipun neraca perdagangan non-migas masih positif, namun pertumbuhannya negatif ditambah dengan neraca migas yang memang sudah negatif. “Jadi tidak aneh kalau dalam 2 tahun kedepan dipastikan neraca non-migas ikut negatif sehingga menambah besar defisit neraca perdagangan” tambahnya.

 Menurut Redma keinginan Presiden untuk meningkatkan ekspor justru diterjemahkan keliru oleh beberapa pihak dengan memberikan fasilitas impor bahan baku yang jor-joran. “Kita lihat di 2017 akhir banyak keluar aturan yang memberikan karpet merah bagi produk impor dengan alasan mempermudah masuk bahan baku, alhasil ditahun impor terus naik non-migas naik 19,7% sedangkan ekspornya hanya naik 6,4%” ujarnya.

 Redma menambahkan, seharusnya pemerintah memprioritaskan bahan baku dari dalam negeri karena produsennya sudah ada. “Seperti di sektor tekstil dan produk tekstil, kan produsen sudah bisa memenuhi kebutuhan kain dalam negeri, kalau PERMENDAG 64 tahun 2017 buka impornya seperti ini ya produsen kainnya tertekan” jelasnya.

 “Kalau importir ya akan selalu bilang suplai kain dalam negeri kita kurang, karena kan memang mereka dapat untung dari situ” ungkapnya. Menurutnya importir tidak pernah pikirkan sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan pemerintah dalam meraih devisa dan menyerap  tenaga kerja.

“Bahkan kelompok importir ini tidak peduli kalau neraca perdagangan kita defisit, dengan dalih bahan baku untuk IKM mereka coba terus pertahankan kebijakan pro impor seperti PERMENDAG 64/2017 ini” tambahnya. “Jadi persoalan ini sederhana, pemerintah akan bangun industri dalam negeri atau mau pro impor” pungkasnya.

 Selamatkan Industri TPT Nasional

Sebelumnya, Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil menyampaikan keluhan bahwa para IKM tenun dan rajut sudah mengurangi produksi 30%-40% sehingga utilisasi produksinya hanya tinggal 50% akibat banjir impor kain yang difasilitasi PERMENDAG 64 tahun 2017.

Rizal menjelaskan bahwa PERMENDAG 64/2017 telah memberikan fasilitas impor tanpa batas dan tanpa kontrol kepada para pedagang pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U). “Impor bahan baku dari API-U yang seharusnya disalurkan ke IKM ternyata sebagian besar langsung dijual dipasar, bahkan sekarang mulai masuk barang jadinya” tegasnya.

 “Para IKM tenun dan rajut di wilayah Majalaya meminta agar PERMENDAG 64 segera dicabut” lanjut Rizal. Untuk itu pihaknya meminta Presiden Jokowi untuk secara tegas berpihak kepada produsen dalam negeri. “Kalau concern pemerintah adalah IKM, perbaikan neraca perdagangan dan penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya, Presiden Jokowi harus segera perintahkan pencabutan PERMENDAG 64 ini” ungkapnya.

 Dikonfirmasi secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Suharno Rusdi mengamini bahwa kondisi industry TPT saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan informasi dari sebagian besar anggotanya yang tersebar diberbagai industry TPT, saat ini stok digudang sangat tinggi.  “Bahkan di kuartal 2 2019, sekitar 20 perusahaan tidak lagi memperpanjang kontrak sekitar 36 ribu karyawannya” ungkap Suharno. “Industri ini harus segera diselamatkan” tegasnya.

 Suharno menjelaskan bahwa pasar dalam negeri sangat besar dengan pertumbuhan konsumsi sekitar 6% pertahun. “Konsumsi perkapita kita saat ini 8,13 kg dan masih akan terus tumbuh hingga lebih dari 12 kg, nilai transaksi dari hulu ke hilir tahun 2018 mencapai USD 34 milyar jauh lebih besar ketimbang kemampuan ekspor kita yang hanya USD 13 milyar” katanya.

 IKATSI meminta pemerintah tidak jor-joran membuka impor bahan baku dengan alasan ekspor maupun IKM, ditengah tekanan dipasar ekspor substitusi impor adalah jawaban untuk menyelamatkan sektor TPT nasional. “Kemudahan bahan baku untuk ekspor kan sudah difasilasti melalui Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), sedangkan bahan baku untuk IKM kan sudah bisa disuplai oleh produk dalam negeri yang sebagiannya juga IKM, jadi tidak perlu lagi PERMENDAG 64 membuka impor dengan alasan ini” jelasnya.

Selanjutnya Suharno menyatakan bahwa IKATSI sedang berupaya untuk mendorong lahirnya undang-undang ketahanan sandang sebagai acuan produk hukum lain yang terkait industri tekstil. “Saat ini banyak produk hukum yang tidak mendukung perbaikan kinerja industri TPT, dengan adanya UU ketahanan Sandang produk hukum lain terkait industri ini harus mengacu pada undang-undang ini” pungkasnya.