MBR Bisa Memiliki Rumah, Mungkinkah?

Oleh : Ahmad Iskandar | Jumat, 02 Agustus 2019 - 11:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti buruh, kaum  miskin di perkotaan, pegawai negeri dan lain-lain kini optimistis bisa memiliki rumah. Pernyataan itu terkait harapan dan rasa optimisme kaum marginal terhadap dilantiknya sejumlah pejabat dari Badan Pengelola Tabungan Perumahan (BP Tapera). Karena masyarakat berpenghasilan rendah kini kian mudah mendapat fasilitas pembiayaan rumah.

Tadinya sewaktu berbentuk Bapertarum hanya pegawai negeri yang bisa mendapat fasilitas ini. Keberadaan BP Tapera sendiri sudah menjadi sebuah solusi untuk memenuhi target pengadaan rumah MBR.  Karena dalam melaksanakan program minimal ada tiga masalah yang harus dihadapi yaitu tanah, regulasi, dan pembiayaan.

Latar belakang pembentukan BP Tapera antara lain berkenaan dengan masalah kekurangan rumah (Backlog) sebesar 11,4 juta unit, peningkatan arus urbanisasi yang membuat backlog bertambah terus tiap tahun, jumlah penduduk usia produktif penduduk yang terus bertambah dan terbatasnya kemampuan APBN.

Hal lainnya adalah soal fakta program 1 juta rumah pemerintah yang terkesan terkatung-katung. Maklum, masalah pemenuhan terhadap papan (perumahan rakyat) diluar kebutuhan sandang dan pangan terkesan menjadi pekerjaan rumah dari rezim ke rezim berikutnya, dari sejak Presiden RI pertama sampai sekarang.

Mekanisme Pasar

Urusan pemenuhan kebutuhan rumah bagi kaum miskin menjadi sebuah hal yang tidak mungkin dipecahkan bila melihatnya dari persfektif ekonomi semata. Karena kalau dari kacamata ekonomi cenderung hanya melihat dari kacamata rugi laba saja.

Mengutip hasil riset dari Indonesia Property Watch, untuk kawasan Jakarta saja, harga tanah di Jakarta Timur berkisar mulai Rp. 1,9 juta sampai Rp. 24,3 juta per meter persegi atau dengan harga rata-rata Rp. 7,9 juta. Sedangkan harga tanah di Jakarta Barat berkisar Rp. 2,8 juta hingga Rp. 26,7 juta per meter persegi dengan harga rata-rata Rp. 13,2 juta. Sementara harga tanah di Jakarta Utara berkisar Rp. 1,7 juta sampai Rp. 38 juta per meter persegi. Jakarta Selatan berkisar Rp. 5,3 juta sampai Rp. 80,9 juta per meter persegi, dan Jakarta Pusat berkisar Rp. 8,3 hingga Rp. 77,1 juta per meter persegi.

Padahal bila membandingkan tingginya harga tanah tersebut dengan kondisi pendapatan bulanan para buruh, taruhlah sebesar Upah Minimum Kota, rasanya hil yang mustahal bagi masyarakat kelas bawah, terutama buruh dan kaum miskin kota bisa memiliki rumah atau menjangkau harga tanah yang selangit itu.

Sementara dari sisi perbankan, kredit perumahan mensyaratkan hal-hal yang rumit dan mahal serta tidak dapat dijangkau kantong oleh sebagian besar masyarakat kita. Situasi ini dapat digambarkan dengan sebuah data di tahun 1969, warga Jakarta yang memiliki rumah tinggal sendiri mencapai 65%. Dan di tahun ini tercatat hanya sekitar 51%, dan 49% di antaranya memilih untuk kontrak rumah atau tinggal di rumah-rumah susun sederhana. Data ini menjadi pertanda terjadi penurunan angka kepemilikan rumah.

Hampir 10 tahun yang lalu, pasar perumahan di Amerika dan negara-negara Eropa anjlok secara tajam dan menjadi pemicu  krisis serta resesi ekonomi. Perlambatan ekonomi di Amerika begitu terasa dan berpengaruh ke pasar global. Rumah-rumah di Amerika mengalami penurunan harga sekitar 30%. Di Inggris, transaksi penjualan dan kredit rumah juga turun lebih dari 75%. Sekitar 4,3% dari rumah-rumah di Amerika, atau dalam perbandingan 1 diantara 25 rumah dalam proses penyitaan karna tidak mampu membayar kredit.

Harga rumah yang terbilang mahal membuat warga Amerika terpaksa mengambil rumah secara kredit, tentu dengan bunga tinggi. Tetapi, meskipun kredit, mereka tetap tidak mampu melunasinya. Jumlah tunggakan kredit yang semakin menggunung, yang bernilai triliyunan dolar inilah yang akhirnya meledak dan memicu ekonomi dunia semakin melemah dan masih berlangsung hingga sekarang.

Di Indonesia pun kondisinya relatif sama. Menurut Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), penjualan rumah komersil anjlok sekitar 75%. Ini adalah imbas dari penurunan daya beli yang berdampak ke segala sektor, terutama pada sektor perumahan. Masalah ini tentu masih berkait dengan upah rendah yang diterima oleh kelas pekerja, apalagi karena imbas dari perlambatan ekonomi, mengharuskan para pemilik pabrik memangkas upah dengan ketentuan berdasarkan besaran inflasi saja.

Intervensi Pemerintah

Urusan pemenuhan kebutuhan rumah masyarakat, mau tidak mau kita harus semata-mata mengandalkan pada intervensi pemerintah. Karena kalau mengandalkan pada pengembang swasta menjadi mustahil mengingat pertimbangan mereka hanya berdasarkan hitungan untung semata.

Dalam kaitan ini pemerintah melalui kehadiran BP Tapera memberi harapan untuk masyarakat yang merindukan memiliki rumah. BP Tapera nantinya memiliki tiga tugas pokok untuk menyelenggarakan sistem tabungan perumahan untuk jangka panjang.

Pertama, berupa pengerahan dana Tapera. Pengerahan dana ini artinya BP Tapera menghimpun dana dari masyarakat supaya melakukan simpanan di BP Tapera. Masyarakat yang ditargetkan menjadi pesertanya yakni aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI-Polri, karyawan BUMN, BUMD, BUMDes, karyawan swasta, wiraswasta atau pekerja mandiri, dan pekerja asing. Namun, pada tahap awal ini, ASN menjadi prioritas. Selanjutnya akan diikuti oleh anggota TNI-Polri, karyawan BUMN, BUMD, BUMDes, dan seterusnya.

Kedua, berupa pemupukan dana Tapera. Dana tabungan masyarakat yang sudah dihimpun harus diinvestasikan sehingga jumlahnya terus bertambah.Nantinya BP Tapera bekerja sama dengan manajer investasi agar dana masyarakat beranakpinak.

Ketiga, pemanfaatan dana Tapera. Nantinya para peserta bisa memanfaatkan tabungannya untuk membeli rumah baru, merenovasi, dan membangun rumah di atas tanah miliknya sendiri. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2018, jumlah modal awal BP Tapera sebesar Rp 2,5 triliun.

Pokoknya lewat kiprah BP Tapera ini masyarakat berpenghasilan rendah itu bisa memiliki rumah.Dan bukan mimpi lagi.

Oleh: Ahmad Iskandar (Dosen FE Universitas Ibnu Chaldun Jakarta)