Pindah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalama Negara Sahabat

Oleh : Herry Barus | Jumat, 12 Juli 2019 - 04:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Sekitar 57 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Jawa, pulau yang menyumbang 58 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Hal tersebut menunjukkan ketimpangan pembangunan yang terpusat di Kawasan Barat Indonesia, padahal potensi di Kawasan Timur Indonesia juga sangat besar. Itulah antara lain yang dipandang sebagai alasan kuat perlunya pemindahan ibu kota negara.

Perihal urgensi pemindahan ibu kota negara (IKN) akan dikupas tuntas dalam diskusi media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 yang mengambil tema “Pindah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalama Negara Sahabat” yang berlangsung di Ruang Rapat Benny S Mulyana lantai 2,5, Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019).

Sebagaimana diketahui, berlandas dari pandangan itu pulalah, beberapa waktu lalu, pemerintah telah menggelar audiensi dengan Forum Duta Besar Republik Indonesia. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk menerima sejumlah masukan berharga (lesson learned) yang bukan hanya hasil riset jangka waktu tertentu. Melainkan yang merupakan sudut pandang unik first-hand experiences dari para mantan duta besar yang tinggal di negara-negara yang memiliki pengalaman memindahkan ibu kota negara (IKN).

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sendiri telah menyebutkan, sejumlah kriteria penentuan lokasi IKN. Yakni, lokasi strategis, lahan luas dan bebas bencana, sumber daya air cukup, potensi konflik sosial yang rendah, serta memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan.

“Dalam membangun IKN, Indonesia akan meminimalkan pembiayaan APBN. Porsi pemerintah masih bisa diatasi dengan memanfaatkan manajemen aset hingga melalui skema Public Private Partnership, mendorong partisipasi BUMN, KPBU, dan swasta,” ujar Menteri Bambang.

Menteri Bambang juga mengungkapkan bahwa share PDB Jabodetabek itu lebih dari 20 persen. Itu artinya, sambung dia, seperlima ekonomi Indonesia terkonsentrasi hanya di Jabodetabek. “Dan tampaknya itu tidak akan menurun karena rata-rata pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa yang terakhir menunjukkan angka 5,6 persen. Sedangkan di luar Pulau Jawa hanya 4,7 persen. Jadi, beban di Pulau Jawa ini luar biasa dari segi penduduk dan ekonomi,” tuturnya.

Akibat beban berat itu, Menteri Bambang menegaskan, Jakarta pasti rawan banjir sehingga posisi Jakarta tidak ideal, lalu tanah di Jakarta akan turun dan permukaan air lautnya akan naik.

“Satu lagi, 96 persen kualitas air laut tercemar berat. Belum lagi kemacetan tinggi dan sistem pengelolaan yang buruk menimbulkan kerugian ekonomi akibat kemacetan hingga Rp56 triliun per tahun,” tutur Menteri Bambang.

 

Menteri Bambang juga menjelaskan terbatasnya ketersediaan air bersih di Pulau Jawa. Dia menyebutkan, air bersih di Pulau Jawa berada di angka 630 meter kubik per kapita per tahun.

 

Hal lain yang diungkapkan Menteri Bambang adalah soal pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi. Menurut dia, konsentrasi penduduk terbesar berada di Jabodetabekpunjur.

 

“Jika dilihat dari luasan lahan pertaniannya, konsumsi lahan terbangun terbesar terdapat di Pulau Jawa, namun cenderung menurun, dengan penurunan luasan lahan pertanian sebesar satu persen. Kepadatan penduduk Jakarta adalah nomor ketiga saat ini, kalah jauh dari Manila, Paris atau Tokyo. Inilah mengapa beban Jakarta sangat berat dan harus segera dibenahi,” tutur Menteri Bambang

Ketua Forum Duta Besar Republik Indonesia Hasyim Djalal, diplomat senior yang pernah menjabat sebagai duta besar di Kanada hingga Jerman, dalam forum yang digelar medio Juni 2019 di Ruang Rapat Djunaedi Hadisumarto 1-2, Gedung Saleh Afiff, Kementerian PPN/Bappenas itu menggarisbawahi tiga hal penting terkait IKN. Antara lain, alasan pemindahan, persiapan yang diperlukan, termasuk keberlanjutan visi Indonesia sebagai negara maritim, dan skema pembiayaan.

Sementara itu, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Herman Prayitno, mantan Dubes Republik Indonesia untuk Brasilia Primo Alui Joelianto, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Tanzania Yudhistiranto Sungadi, dan mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Abuja Harry Purwanto juga turut memaparkan best practices dan pembelajaran penting lainnya terkait pemindahan IKN.

Selain Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, akan dihadirkan sejumlah narsum lain dalam diskusi media kali ini. Mereka adalah Duta Besar LBBP RI untuk Brasil periode 2010-2015 Sudaryomo Hartosudarmo, Duta Besar Brasil untuk Indonesia HE Mr Rubem Barbosa, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, HE Mr Zainal Abidin Bakar, dan Duta Besar LBBP RI untuk Myanmar periode 2014-2018 Ito Sumardi.

 

Pandangan para narsum yang berpengalaman di negara sahabat itu akan disampaikan langsung kepada publik melalui media massa.

 

Sekelumit Sejarah Rencana Pemindahan

 

Rencana pemindahan ibu kota sebenarnya bukanlah wacana baru. Sejak zaman kolonialisme Belanda, ide itu sebenarnya telah mengemuka. Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta disebabkan oleh kondisi Jakarta yang berada di daerah pantai yang rendah dan akrab dengan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare.

Pada 1906 pemerintah Hindia Belanda telah mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Bandung. Meskipun kurang mendapat dukungan Volksraad, tetapi kebijakan ini mulai diimplementasikan pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum (1916-1921).

Ide ini bermula dari hasil studi HF Tillema tentang kesehatan kota-kota pantai di Pulau Jawa. Sebagai seorang Ahli Kesehatan Lingkungan yang bertugas di Semarang, Tillema menyimpulkan “kota-kota pelabuhan di pantai Jawa cenderung tidak sehat”.

Pada rekomendasi akhirnya, Tillema mengusulkan, Bandung dipilih sebagai Ibu Kota Hindia Belanda yang baru untuk menggantikan posisi Batavia. Ide pemindahan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung mendapat dukungan dari Prof J Klopper, Rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang ITB), dan mulai dilaksanakan pada 1920. Areal seluas 27 hektar di Bandung pun telah disiapkan menjadi kawasan pusat pemerintahan sipil.

Sejak itulah kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta mulai dipindahkan. Secara bertahap beberapa kantor telah dipindahkan ke Bandung, seperti Kantor Pertambangan dan Energi (1924), gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma (1923), Kantor Pos Besar (1928), dan Kantor Pusat Kereta Api (1928).

Namun di lahan yang disiapkan untuk kawasan pusat pemerintahan sipil itu ternyata hanya sempat diselesaikan dua bangunan, yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post Telegraf en Telefoon(1920). Sedangkan 12 bangunan lain yang direncanakan, tidak sempat dibangun karena pemerintah Belanda mengalami resesi dan menyebabkan gagalnya proyek pemindahan ibu kota ke Bandung.

Selain Bandung, Palangkaraya juga pernah didaulat menjadi kota tujuan relokasi ibu kota. Jauh hari pada 1957 Presiden Soekarno pernah mencanangkan kota ini sebagai lokasi baru terkait kebijakan pemindahan Ibu Kota Jakarta. Posisi geografis Palangkaraya dianggap unik karena berada tepat di tengah-tengah gugus kepulauan Indonesia.

Ide ini mengemuka saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah. Sekalipun saat itu jika ke Palangkaraya masih harus mengendarai transportasi sungai dari Banjarmasin, dua kali kunjungan presiden pertama ini mengisyaratkan keseriusan rencana pemindahan ibu kota ke sana.

Akan tetapi setelah keluarnya Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno tampaknya meninggalkan gagasan pemindahan ibu kota. Kini Tugu Soekarno dikenang orang menjadi memori wacana Presiden Soekarno memindahkan ibu kota. Terletak di dekat Istana Isen Mulang dan hanya berjarak 50 meter dari bibir Sungai Kahayan, di sinilah Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Kota Palangkaraya, 17 Juli 1957.

Wacana pemindahan ibukota terus bergulir. Merujuk artikel “Pemindahan Ibu Kota Negara” tulisan Deden Rukmana, memasuki era Orde Baru ide pemindahan ibu kota sempat muncul. Presiden Suharto juga menggagas pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Jonggol Jawa Barat melalui Keppres No 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.

Keputusan ini mendukung rencana pengembangan Jonggol sebagai kota mandiri seluas 30 ribu hektar. Rencana pemindahan ibukota ke Jonggol tidak berlanjut seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998.

Masih merujuk artikel yang sama, dikatakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono wacana pemindahan ibukota juga tercatat muncul kembali. Ide ini disampaikan oleh presiden keenam pada Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya di awal Desember 2009. Dalam kesempatan itu, Presiden SBY menekankan beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara sudah semakin berat.

Pada awal September 2010, Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim kecil. Tim ini ditugaskan mengkaji ide pemindahan ibu kota negara. Ada tiga rekomendasi sebagai skenario, yaitu, pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota negara dan dilakukan pembenahan atas semua permasalahan. Kedua, memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di Pulau Jawa. Ketiga, memindahkan ibu kota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Pulau Jawa.

Namun sayangnya di era Presiden SBY ini, rencana pemindahan ibu kota masih sebatas rencana dan belum ditindaklanjuti lebih jauh. Kini di akhir pemerintahan Presiden Jokowi, ide pemindahan ibu kota kembali menyeruak kuat.