Neraca Perdagangan Indonesia Terburuk Sepanjang Sejarah, Analis PKR: Sri Mulyani Mau Ngeles Apa Lagi?

Oleh : Herry Barus | Kamis, 16 Mei 2019 - 13:45 WIB

INDUSTRY.co.id -Jakarta -Defisit perdagangan yang mencapai rekor terburuk di April 2019 membuktikan bahwa resep-resep yang dikerjakan oleh tim ekonomi Jokowi, termasuk Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang  berada di dalamnya telah gagal.

“Resep-resep apakah itu? Seperti diketahui, sejak tahun lalu berbagai resep untuk memperbaiki berbagai defisit dalam indikator seperti neraca perdagangan coba dilancarkan pemerintah Jokowi. Sebut saja resep menaikkan PPh pasal 22, seribuan jenis barang impor yang efektif 13 September 2018, melaui peraturan menteri keuangan,” ungkap Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, Kamis (16/5/2019).

Menurut Gede, resep itu tidak efektif karena yang dikenakan tarif adalah barang-barang yang nilainya tidak signifikan seperti shampo, kosmetik dan lain-lain.

“Sementara untuk impor yang besar-besar seperti baja dari Tiongkok, masih terus masuk dalam jumlah besar padahal Tiongkok terbukti melakukan politik dumping untuk komoditi bajanya,” Gede menambahkan.

Jadi terbukti kebijakan Sri Mulyani dalam menekan defisit perdagangan non migas tidak berdampak. Selain itu kebijakan tim ekonomi Jokowi lainnya seperti konversi energi biodiesel B20 untuk industri juga belum terealisasi sesuai harapan. Buktinya impor migas kita masih menyumbang porsi terbesar, lebih dari 60% total defisit perdagangan di April 2019.

Sementara kebijakan pemerintah yang seharusnya berdampak cukup positif, seperti pengembalian devisa hasil ekspor (DHE), yang mengadopsi ide Rizal Ramli, baru bulan Mei 2019 berlaku efektif. Jadi belum dapat diukur manfaatnya.

“Itulah sebabnya indikator eksternal lainnya seperti transaksi berjalan (current account) masih terus juga catat defisit besar. Defisit transaksi berjalan kuartal 1 2019 sebesar 2,6% PDB lebih buruk dari periode yang sama di tahun 2018 sebesar 2,4% PDB,” ujar Gede.

Selain lebih buruk dibandingkan tahun lalu, nilai defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal I 2019 sebesar USD 7 miliar merupakan yang terburuk di kawasan ASEAN. Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura semuanya mengalami surplus transaksi berjalan berturut-turut: USD 2,6 miliar, USD 6 miliar, USD 1,7 miliar, dan USD 17,6 miliar. Yang menemani di zona defisit transaksi berjalan hanya Filipina, USD 201 juta, tidak sebesar Indonesia.

Akibat dari masih terburuknya defisit transaksi berjalan tersebutlah, makroekonomi Indonesia menjadi yang paling rentan di kawasan. Salah satu petandanya adalah nilai kurs Rupiah yang terus melemah terhadap US Dollar yang per sore ini sudah nyaris ke Rp 14.500/$. Ini adalah akibat dari tidak cakapnya Sri Mulyani, bersama Tim Ekonomi Jokowi, dalam mengelola perekonomian kita selama ini.

“Masa ekonom yang sering ngeles begini masih masuk daftar calon kabinet ke depan? Suram kita!” tandas Gede Sandra.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memperkirakan masa Pemilu serta masa Lebaran menjadi salah satu pemicu neraca perdagangan mengalami defisit besar di bulan April 2019.

“Bisa jadi karena banyaknya keputusan yang diambil itu harusnya Januari sampai Maret, tapi akhirnya terealisasi bulan April karena menunggu Pemilu. Kemudian juga karena mengejar masa sebelum Lebaran, akhirnya membuat ‘decision’  banyak yang dikejar di bulan April ini, sehingga semua menumpuk pada bulan April,” kata Menkeu usai menjadi pembicara di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Rabu (15/5/2019).

Namun, Sri Mulyani menjelaskan bahwa itu masih asumsi dan ia mengatakan akan meninjau lagi komposisi apa yang mempengaruhi defisit neraca perdagangan.

Neraca Perdagangan Indonesia pada April 2019 kembali mengalami defisit, yakni mencapai sebesar US$2,5 miliar, yang disebabkan oleh defisit sektor migas dan nonmigas masing-masing sebesar 1,49 miliar dolar AS dan 1,01 miliar dolar AS.

Defisit pada bulan tersebut berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan bahwa besaran defisit terburuk sebelumnya yang pernah dicatat oleh BPS terjadi pada Juli 2013. Pada bulan tersebut, neraca ekspor impor Indonesia mengalami defisit sebesar US$2,3 miliar.