Menjamin Legitimasi Pemilu, KPU Laporkan Berita Hoaks ke Penegak Hukum

Oleh : Herry Barus | Selasa, 12 Maret 2019 - 04:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui meski banyak digerus oleh berita dan informasi hoaks terkait Pemilu 2019, publik masih percaya kredibilitas penyelenggara pemilu. Untuk itu, KPU tetap bersikap profesional dan independen dalam menjamin legitimasi pemilu serta melaporkan hal tersebut ke penegak hukum.

"Memang ada oknum-oknum tertentu yang sengaja melakukan delegitimasi penyelenggara pemilu dan pelaksanaan pemilu melalui serangan berita hoax di sosial media," ujar Komisioner Komisi Pemilihan Pemilu (KPU), Wahyu Setiawan.

Demikian disampaikan Wahyu Setiawan dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Menjamin Legitimasi Pemilu”, bertempat di Ruang Serba Guna Gedung Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (11/3/2019).

Menurut Wahyu Setiawan, berita hoaks ini memang menjadi problem besar bagi penyelenggara pemilu. Beberapa kasus yang muncul seperti adanya berita 7 kontainer kertas suara tercoblos ke pasangan calon tertentu di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang setelah dicek adalah berita bohong.

Untuk itu, KPU secara tegas melaporkan berbagai isu dan berita hoaks yang mengancam legitimasi pemilu ke pihak kepolisian.

Dijelaskan, dari beberapa informasi yang beredar di media umum dan media sosial yang perlu diluruskan KPU seperti status cuti petahanan presiden yang menjadi calon presiden yang berbeda peraturannya dengan cuti petahana kepala daerah ketika mengikuti pilkada. Jadi Capres petahana tidak perlu cuti permanen selama masa kampanye. Ini sesuai peraturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, calon presiden dari petahana harus memberikan jadwal kampanye melalui Menteri Sekretaris Negara. "Sebab posisi presiden adalah sekaligus sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dan posisi presiden sedetik pun tidak boleh dipindahtangankan ke lembaga lain," jelas Wahyu Setiawan.

Menyoal isu, warga negara asing (WNA) yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), Wahyu Setiawan menegaskan, sesuatu peraturan perundang-undangan kependudukan jelas tidak bisa memilih dalam pemilu. Penduduk dan warga negara adalah dua konsep yang berbeda. Seorang penduduk bisa berasal dari warga asing, tapi warga asing belum tentu penduduk.   "Sebanyak 101 WNA yang terdaftar di DPT sudah disisir oleh KPUD. Jajaran KPUD sudah dikunjungi ke setiap rumah. Ternyata warga negaranya berasal dari Filipina, Vietnam dan paling besar dari Korea dan Malaysia," ungkap Komisioner KPU.

Adapun terkait isu ada 14 juta pemilih tuna grahita (sakit kejiwaan), Wahyu menyangkal hal itu. Menurut UU Pemilu, para penyandang disabilitas mempunyai hak memilih dengan syarat-syarat tertentu. "Jadi bukan orang gila yang berkeliaran di jalan. Pemilih Disabilitas totalnya kisaran 350 ribuan yang tercatat di DPT. Sedangkan pemilih tuna grahita lebih sedikit dari tersebut," paparnya.

"Berita hoaks diakui memang yang menggerus legitimitasi penyelenggara pemilu dan menggerus kepercayaan publik. Meski demikian, menurut sebuah lembaga survei, tingkat kepercayaan publik masih 80%," jelas wahyu Setiawan.

Pertama kali Pemilihan Umum serentak 17 April 2019 menyatukan agenda pemilihan presiden dan wakil presiden dengan pemilihan anggota legislatif. Ini merupakan pemilihan umum terbesar dalam sejarah Republik. Dari jumlah pemilih saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan 2 (DPTHP2) pada Desember 2018 total pemilih sejumlah 192.828.520 orang. Terdiri dari pemilih laki-laki 96.271.476 orang dan pemilih perempuan 96.557.044 orang.

Pemilih dalam negeri terdata 190.770.329 orang, terdiri dari pemilih laki-laki 95.368.749 orang dan pemilih perempuan 95.401.580 orang. Mereka tersebar di 514 Kabupaten/Kota, 7.201 Kecamatan, 83.405 Kelurahan/Desa. Jumlah TPS yang disediakan sejumlah 809.500 TPS. Adapun pemilih luar negeri tercatat 2.058.191 orang

Turut hadir sebagai narasumber dalam FMB 9 kali ini antara lain Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo, dan Komisioner Badan Pengawas Pemilu RI Mohammad Afifuddin.