PT JIEP Terapkan 10 Persen dari HGB di Kawasan Industri

Oleh : Ahmad Fadli | Senin, 27 Februari 2017 - 20:52 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - PT Jakarta Industrial Estate (PT JIEP) selaku pengelola kawasan industri Pulogadung menyelenggarakan Forum Group Discussion perihal ‘Biaya Penggunaan Tanah di atas HPL kawasan Industri’. Selama ini banyak yang salah arti perihal penggunaan hak guna bangunan (HGB) di kawasan industri sebagai hak milik.

“Kawasan Industri BUMN/BUMD diberikan kewenangan sebagai pemegang HPL dapat memberikan rekomendasi penerbitan HGB untuk penggunaan tanah kepada Pengguna Tanah/Perusahaan Industri/Pihak lain,” kata Rahmadi Nugroho, Dirut PT JIEP, di Jakarta, Senin (27/2/2017).

Lanjutnya, sejauh ini tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dari kebijakan menentukan besaran biaya penggunaan tanah diatas HPL kawasan industri. Karena itu, penggunaan tanah tersebut sesuai PP No 142/2015 tentang kawsan industri mengatur dalam pasal 49 yang pada intinya penggunaan tanah oleh perusahaan industri dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis memuat, jangka waktu, besaran biaya penggunaan tanah dan penggunaan tanah oleh perusahaan industri sesuai yang diperjanjikan.

“PT JIEP mengenakan total 10 persen dari nilai NJOP tanah tahun berjalan. Bagi penyewa tenant tahap pertama dengan batas waktu 30 tahun, perpanjangan 20 tahun dan setelah itu pembaharuan 30 tahun,” ujarnya

Sementara itu, Guru Besar Hukum UI Hikmahanto Juwana mengungkapkan, banyak permasalahan yang timbul diakibatkan tidak tercapainya kesepakatan dalam besaran biaya penggunaan tanah di atas HPL kawasan industri, antara kawasan industri BUMN/BUMD selaku pemegang HPL dengan pengguna tanah, dan ini akan membawa kepada tindak koruptif.

“Pasalnya HPL ini merupakan aset tanah milik negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada badan-badan pemerintah yang ditunjuk,” jelas dia

Ia pun meminta agar masyarakat atau investor juga harus hati-hati bahwa tidak seluruh HPL dalam kondisi clean and clear atau jelas, dan bersih dari sengketa. Terlebih HPL-HPL yang diterbitkan zaman Presiden Soeharto ini masih belum jelas dan bersih perolehannya.